bakabar.com, BANJARMASIN – Berawal dari dua orang, Bubuhan Brompton Banjarmasin kini sudah punya puluhan anggota.
Komunitas pecinta sepeda lipat rakitan Inggris ini terbentuk di tengah pandemi.
Kala itu, hanya Wahyu dan Andika. Kedua orang ini tidak sengaja dipertemukan dalam komunitas Folding Bike Kalimantan Selatan (Kalsel).
Lalu mengungkapkan hasratnya untuk mendirikan komunitas komunitas Brompton di kota berjuluk Seribu Sungai.
Kepada bakabar.com, salah satu pendiri Wahyu Multazam mengungkapkan tujuan dibentuknya Bubuhan Brompton Banjarmasin.
Itu tidak lain supaya ada wadah bagi pemilik sepeda Brompton untuk bersilaturahim dan melakukan kegiatan bersama.
Baik itu kegiatan internal komunitas maupun kegiatan sosial eksternal.
"Kemudian dengan tetap menjaga harmonisasi dan guyub antar komunitas pesepeda yang berada di Kalsel," ujar Wahyu Ketua Bubuhan Brompton Banjarmasin, Minggu (23/8).
Bubuhan Brompton Banjarmasin sendiri terbentuk bertepatan dengan Hari Kartini, 21 April 2020 lalu.
Momen itu, menurut Wahyu bisa dibilang kurang tepat untuk membentuk suatu komunitas sepeda.
Alasannya pada saat itu pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Termasuk di Kalsel.
"Tapi kondisi tersebut tidak melunturkan semangat keduanya untuk tetap merealisasikan harapan kami," tegasnya.
Sebelum komunitas terbentuk, kedua pendiri ini telah melakukan komunikasi dan meminta saran masukan kepada Presiden Brompton Owners Group Indonesia (BOGI).
Tak hanya itu, mereka juga menjalin komunikasi dengan Iwan Jack yang merupakan salah satu pesepeda senior di Kalimantan Selatan.
Bak gayung bersambut, harapan tersebut dapat respon baik. "Om Baron dan Om Iwan untuk segera dibentuk dan disahkan," ucapnya.
Hingga sekarang, Bubuhan Brompton Banjarmasin sudah memiliki 29 anggota.
Keanggota mereka tersebar di beberapa wilayah Kalsel. Tentu didominasi oleh pesepeda senior dan sudah lama berkecimpung di dunia persepedaan.
Dengan begitu, ia berharap semoga memberikan perkembangan yang semakin baik kedepannya khususnya di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya.
"Sehingga memberikan dampak positif terhadap perkembangan komunitas ini,” harapnya.
Ditambahkannya, semua anggota tidak diwajibkan untuk tetap berkumpul serta gowes bareng.
Namun ketika waktu ngumpul pastinya disatu titik, yakni di depan Patung Bekantan. Setelah itu baru merencanakan perjalanan selanjutanya.
Keputusan tersebutlah yang membuat lokasi gowes selalu berubah ubah.
"Kita biasa ada gowes bareng minimal sekali seminggu," katanya.
Ketika gowes, ia kerap menghimbau anggotanya untuk tetap displin protokol kesehatan.
Seperti jaga jarak minimal dalam satu rombongan 5 sampai 10 pesepeda.
Makanya, ia menyoroti kegiatan sepeda yang mengumpulkan orang banyak karena sangat berisiko.
Kondisi sekarang masih belum memungkinkan untuk mengadakan acara gowes dengan jumlah pesepeda ratusan maupun ribuan.
"Jadi harapannya untuk event sepeda mungkin belum diadakan dulu, sampai menunggu kondisi benar benar aman," ucapnya," ungkapnya.
Fakta Brompton Sepeda Mahal
Siapa yang tidak mengenal sepeda Brompton? Sepeda rakitan asal negeri Inggris sangat populer di Indonesia. Tak terkecuali di Kota Banjarmasin.
Namun untuk membawa pulang sepeda lipat ini, pembeli wajib menguras kantong. Satu sepeda dipatok harga Rp 50-100 juta.
Harga inilah yang membuat brand Brompton spesial dan terbatas. Pemiliknya dari kalangan pengusaha, hingga politisi.
Pemerkasa Bubuhan Brompton Banjarmasin, Wahyu membeli sepeda lipat itu pada Juni 2019 lalu.
Waktu itu lumayan lama, karena sepeda buatan Inggris ini masih belum banyak yang menggunakannya di Banjarmasin.
Selain itu harga yang 1 tahun lalu masih terjangkau, ketimbang sekarang.
"Dulu masih sekitar Rp28 juta. Sekarang rata-rata menjual sudah Rp50 jutaan type basic," imbuh ayah dua orang anak ini.
Dikutip dari laman situs resmi Brompton.com, sepeda ini pertama kali dibuat tahun 1975. Pembuatnya adalah Andrew Ritchie.
Ide membuat sepeda itu meluncur di sela-sela kesibukannya menata taman dan menjual tanaman.
Namun pertemuannya dengan calon investor sepeda lipat Bickerton saat itu membuatnya berpikir lain.
Dengan dukungan beberapa teman, ia mencoba memproduksi beberapa prototipe dan membentuk Brompton Bicycle.
Nama Brompton sendiri berasal dari ‘Brompton Oratory’, sebuah gereja di London, yang berada di depan apartemen Ritchie.
Selama 5 tahun, dikutip dari Bicyclejunction, bisnis Ritchie tak tampak meyakinkan.
Namun berkat pesanan teman-temannya, sebanyak 30 sepeda, ia mulai memproduksi Bromptom dengan volume rendah dan peralatan minimal.
Dengan berjalannya waktu akhirnya Ritchie mendapat dana yang cukup dari investor dan akhirnya berhasil memproduksi sepeda dengan kondisi yang layak di tahun 1988.
Sepeda produksi pertama muncul di Railway Arch di Brentford.
Di negara asalnya, dikutip dari wolipop, Brompton dibandrol dengan harga Rp 28 juta untuk Brompton special edition.
Jika ditambah pajak dan berbagai biaya lainnya maka harganya bisa mencapai Rp 34 juta setelah sampai di Singapura.
Brompton di Indonesia memang dibandrol dengan harga jual yang lebih tinggi.
Kalau mengintip di beberapa marketplace, berbagai jenis sepeda Brompton bekas dibandrol dengan harga Rp 20 hingga Rp 35 jutaan tergantung jenisnya.
Brompton tidak bisa sembarangan beredar di Indonesia. Sepeda ini harus memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kepala Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Standarisasi Industri (BPPI), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, produk apa pun yang dipasarkan di Indonesia, harus mengikuti SNI.
Terkait hal ini, Kasubdit Pengawasan dan Penegakan Hukum Standarisasi Industri BPPI, Kemenperin, Yosi menambahkan, mengacu Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Sepeda Roda Dua Secara Wajib, sepeda Brompton harus berlogo SNI.
Sebab, Indonesia terikat peraturan World Trade Organization (WTO/Organisasi Perdagangan Dunia).

Bubuhan Brompton Banjarmasin. Foto-Istimewa
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin