Sejarah Reformasi

13 November: Mengenang Tragedi Semanggi 1998

Dua puluh empat tahun silam, desingan peluru melebur lautan massa yang berisikan mahasiswa juga masyarakat sipil lainnya di sekitar kawasan Semanggi.

Featured-Image
Mengenang Tragedi Semanggi

bakabar.com, JAKARTA - Dua puluh empat tahun silam, tepat tertanggal 13 November, desingan peluru melebur lautan massa yang berisikan mahasiswa juga masyarakat sipil lainnya di sekitar kawasan Semanggi.

Puluhan ribu orang nan tak berdosa itu hendak menuju kompleks wakil rakyat, dengan maksud menolak agenda Sidang Istimewa (SI) MPR. Mereka telah vokal menyuarakan pendapatnya ini sedari dua hari lalu, 11 November 1998.

Penolakan itu bukan tanpa alasan; mereka tak setuju kalau BJ Habibie menggantikan Soeharto menjadi kepala negara. Mereka menganggap sang penemu teori keretakan itu sejatinya adalah perpanjangan tangan Orde Baru, yang menguasai negeri ini lebih dari tiga dekade lamanya.

Massa berupaya mengepung Gedung DPR/MPR dari berbagai arah: Semanggi, Slipi, hingga Kuningan. Sayang, gerakan mereka kadung terbaca oleh aparat. 

Gabungan TNI-Polri, kala itu, langsung mengerahkan kendaraan lapis baja di ruas-ruas jalan yang dilewati massa. Desing peluru tajam membabi buta di udara, padahal mahasiswa hanya sedang duduk-duduk di jalan.

Kompleks wakil rakyat pun dijaga ketat milisi sipil Pasukan Pengaman Swakarsa – yang disebut juga Pam Swakarsa. Ditambah lagi, aparat turut merekrut 30.000 warga sipil untuk berjaga-jaga di sekitar gedung parlemen. 

Kekhawatiran Seorang Ibu

Melihat kondisi yang demikian, Maria Catarina Sumarsih, salah seorang PNS di Gedung DPR, lantas memperingatkan putranya untuk mawas diri. “Jaga diri ya, Wan, situasinya kan seperti ini. Di kantor ibu dijaga ketat. Banyak sniper yang bertugas per lantai dan nanti akan ada tembakan bebas.” 

Sang putra, Bernadius Realino Norma Irawan alias Wawan, pun menuruti perintah ibunya untuk tak keluar kampus. Namun, ternyata kondisi di lapangan lebih parah dari apa yang dibayangkan Sumarsih.

Aparat telah merangsek masuk ke Universitas Atma Jaya, tempat Wawan berkuliah. Suara tembakan sesekali terdengar dari kampus tersebut. Sejumlah mahasiswa pun tak ubahnya menjadi sasaran dari peluru itu.

Rasa kemanusiaan menyesakki benak Wawan. Dirinya tak bisa diam begitu saja melihat kawan seperjuangannya terkapar di halaman kampus. Lantas, dia menghampiri salah seorang aparat, meminta izin untuk membopong korban.

Usai mendapat izin, Wawan mengeluarkan kain berwarna putih, sebagai penanda bahwa dirinya adalah tim medis. ID Card relawan kemanusiaan pun jelas menggantung di lehernya.

Naas, dia malah turut menjadi korban. Peluru yang ditembakkan aparat secara membabi buta itu bersarang di dadanya, meninggalkan bekas luka mengaga sebesar tutup bolpoin. Kulit di sekitarnya terbakar bak disundut rokok. Sungguh, pemandangan yang amat memilukan bagi seorang ibu.

“Wan, perutmu tipis. Kamu lapar ya, Wan? Oh, Wan, kamu ditembak,” demikian kiranya tangis Sumarsih, yang pecah begitu melihat jenazah putranya. 

Korban Berjatuhan, Keluarga Tuntut Keadilan

Wawan adalah salah satu dari 17 orang yang tewas dalam Tragedi Semanggi 1998. Belasan korban itu terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMA, tiga warga sipil, dua anggota Polri, satu satpam, dan empat anggota Pam Swakarsa.

Selain Wawan, ada pula mahasiswa yang meregang nyawa karena tembakan peluru. Adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) yang menjadi sasaran peluru pertama aparat.

Ayu Ratna Sari pun turut menjadi korban tembakan peluru. Bocah kecil yang masih berusia enam tahun itu terkena peluru nyasar.

Di samping itu, sedikitnya 456 orang mengalami luka-luka akibat tembakan senjata api maupun pukulan benda keras. Ratusan korban tersebut meliputi mahasiswa, pelajar, wartawan, warga sipil, dan aparat keamanan.

Banyaknya korban yang berjatuhan itu membuat massa kembali geram. Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut kasus yang dianggap kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) ini. 

Komnas HAM pun menyimpulkan bahwa terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup terkait pelanggaran HAM berat. Sebanyak 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Meski sejumlah aparat telah diadili, tak sedikit pihak yang menyebut pengadilan telah gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.

Keluarga korban yang belum menemukan titik terang pun mengupayakan berbagai itikad agar mendiang mendapat keadilan. Salah satunya, dengan menggelar Aksi Kamisan – aksi damai yang dilakukan di depan Istana Negara setiap hari Kamis.

Sumarsih beserta keluarga korban lainnya tak pernah patang arang untuk mengungkap kejahatan HAM yang menimpa keluarga tercintanya itu. Bahkan, pada 2020, ibunda dari mendiang Wawan ini mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pelaporan ini adalah buntut dari kekecewaan keluarga korban atas pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam forum Rapat Kerja DPR pada 16 Januari 2020, dia menyatakan peristiwa Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, sehingga kasus tidak perlu dilanjutkan.

Editor


Komentar
Banner
Banner