bakabar.com, BANJARMASIN – Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Silmy Karim diusir dalam rapat di DPR RI. Ia diusir Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi.
Silmy Karim diusir, salah satunya, imbas mangraknya proyek smelter atau pemurnian bijih besi di Kalimantan Selatan.
“Tadi yang saya tanya persoalan mungkin mas lihat videonya, pertama soal penutupan blast furnace, itu tadi kan jelas bisa lihat utuh paparan dari dirjen, kita butuh 15 furnace, ini ada 1 dibilang gagal, rugi atau apalah, smelter di Kalsel juga dihentikan,” kata Bambang, Senin (14/2) dikutip bakabar.com dari Detik.com.
Dalam rapat itu, Bambang dan Silmy tengah membahas sejumlah hal. Dari impor baja hingga blast furnace.
“Kalau kita memang niat mendukung komitmen presiden untuk penguatan industri baja dalam negeri, kemandirian baja, harusnya ini kita dukung, kita perkuat,” imbuh politikus Gerindra ini.
Perdebatan mulai ketika Bambang membahas blast furnace dengan Silmy. Namun, Bambang menilai respons Silmy berlebihan ketika ia bertanya tentang persoalan 2,6 juta ton baja siku.
“Nah ini yang kami tidak sependapat dan Pak Silmy selaku dirut terlalu reaktif, apalagi ketika kita menyinggung soal ada kasus ya kan 2,6 juta ton baja siku,” ucap Bambang.
Bukan hanya terlalu reaktif, Bambang menyebut Silmy juga tak beretika. Dan seperti dagelan.
“Dia reaktif dan tidak tahu etika, jadi yang saya pertanyakan kenapa saya bilang dagelan? Satu sisi dia selalu sampaikan kami ingin perkuat industri baja dalam negeri, tadi dirjen sampaikan kalau ibaratnya butuh sarung kita bukan impor sarungnya tapi kita impor benangnya, ini baja nggak, sekarang impor baja juga baja udah utuh gitu,” ujarnya.
Lantas proyek smelter di mana yang dimaksud Bambang? Soal smelter, di Kalsel saat ini rencana proyek milik PT Jhonlin Grup-lah yang tengah ramai diperbincangkan. Andi Syamsuddin Arsyad, selaku pemilik, bahkan membidik pembangunan empat unit smelter sekaligus.
Namun bukan itu rupanya yang dimaksud Bambang, melainkan smelter milik PT Meratus Jaya Iron & Steel di Tanah Bumbu. Sekalipun sudah menghabiskan Rp3,9 triliun, megaproyek pada 2015 ini mangkrak.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejatinya punya target untuk membangkitkan proyek pengolahan biji besi tersebut.
"Mungkin dulu kajiannya kurang mendalam mengenai potensi ketersediaan bahan baku. Barangkali dulu jenis biji besi yang akan diolah tidak tersedia secara mencukupi," beber Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Muhammad Handry Imansyah kepada bakabar.com, beberapa waktu lalu.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim angkat bicara. Ia melihat proyek smelter dan blas purnance Meratus Jaya Iron & Steel sudah tak lagi efisien dan menguras keuangan perusahaan.
“Manajemen saat itu memutuskan untuk tidak mengoperasikan, atas seluruh kajian yang ada, termasuk juga kejaksaan juga, kita hentikan,” ujar Silmy saat rapat dengar pendapat kemarin, dikutip bakabar.com dari CNN Indonesia.
Blast furnace umumnya adalah proses produksi hot metal atau besi cair melalui peleburan dan reduksi bijih besi sintered ore, pellet serta lump ore.
Khusus untuk blast furnace, Silmy menjelaskan hambatan utama adalah fasilitas basic oxygen furnace tidak ada pada awal tahap pengembangan electric air furnace perusahaan. Jika memodifikasi basic oxygen furnace, biaya akan bengkak.
“Proyek ini memang harus diselesaikan, (namun) kemudian dihentikan karena sangat menguras kemampuan keuangan KS [Krakatau Steel]. Belum lagi utang yang ditimbulkan akibat dari proyek ini,” jelasnya.
Persoalan lain mengenai lokasi proyek. Pengembangan smelter di Kalimantan Selatan dinilai tak optimal. Sebab, jauh dan banyak hambatan logistik . Terutama letaknya yang 20 km hingga 35 km dari bibir pantai.
Tanah yang digunakan pun bukan milik Meratus, perusahaan yang didirikan Krakatau Steel bersama dengan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), tapi milik pemerintah daerah.
“Dari sisi aspek teknologi juga tidak mengikuti tren perkembangan hal kaitan dengan efisiensi. Proyek ini benar-benar tidak beroperasi akibat tidak digunakannya lagi sponge iron sebagai bahan baku KS,” kata Silmy.
Dihentikannya kedua proyek tersebutlah yang belakangan membuat Bambang berang dan mengusir Silmy saat rapat dengar pendapat di Komisi VII, kemarin.
“Pabrik blast furnace dihentikan tapi satu sisi ingin memperkuat produksi dalam negeri, ini jangan maling teriak maling,” ujarnya.
Seperti diketahui Indonesia memerlukan 5 blast furnace tambahan dengan total kapasitas 1,2 juta ton agar dapat memenuhi kebutuhan baja dalam negeri tanpa terus mengandalkan impor.
Pada akhir RDP, pimpinan Komisi VII menyepakati diadakannya investigasi lebih dalam terhadap pemberhentian blast furnace dan smelter Kalimantan Selatan yang dilakukan Krakatau Steel.
“Kita akan dalami dua hal tersebut, khusus penghentian dua hal ini karena ini investasinya udah gede banget. Investasi gede banget untuk smelter Kalsel dan blast furnace yang ada di Krakatau Steel, jangan sampai dengan alasan kerugian untuk memperlancar teknik lain,” ujar Bambang.