bakabar.com, JAKARTA - Gempita Imlek menggema di pelbagai penjuru Indonesia. Semarak yang demikian, rupanya, tak bisa dirasakan warga keturunan Tionghoa kala Presiden Soeharto berkuasa.
Kurang lebih tiga dekade lamanya, atau sedari 1968 sampai 1999, mereka terpaksa merayakan tahun baru Cina dalam ‘diam.’ Diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa sejatinya sudah mengakar sejak negeri ini dijajah.
Terlebih pada masa penjajahan Jepang, etnis Tionghoa mendapat perlakuan tidak manusiawi sedemikian rupa. Ditangkap, dipenjara, dijatuhi hukuman merupakan sejumput hal lazim yang dirasakan mereka kala itu.
Selepas Indonesia merdeka pun, kalangan Tionghoa belum bisa merayakan Imlek lantaran situasi di negeri ini tak kunjung kondusif. Malahan, kebebasan mereka untuk merayakannya juga direnggut dengan ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Kebijakan itu mengatur lima hal tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Salah satunya, “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”
Gebrakan Gusdur demi Kesejahteraan Etnis Tionghoa
Selepas Presiden Soeharto lengser dari kursi pemimpin tertinggi di Indonesia, kebijakannya pun tak lagi berlaku. Gebrakan atas diskriminasi etnis Tionghoa baru menemukan titik terang tatkala Abdurrahman Wahid menjadi presiden.
Gusdur, begitu sapaan akrabnya, tak sepaham dengan aturan zaman Orde Baru yang melarang Imlek dirayakan dengan suka cita. Sang Presiden bahkan mengkritisi warga non-Tionghoa yang bersikap tidak adil.
Hal tersebut sebagaimana dituliskan Supraptiningsih dan Fatmawati dalam Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Pola Hidup Etnis Tionghoa (2020). Gusdur menilai tindakan itu sebagai sikap tidak adil, tidak jujur, dan merusak kalangan etnis Tionghoa.
Gusdur lantas mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Dia pun mengembalikan kesejahteraan masyarakat Tionghoa dengan mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000.
Beleid tersebut menjadi pintu awal umat Konghucu di Indonesia bisa memperoleh kebebasan menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka. Termasuk, upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Ditetapkan Jadi Hari Libur Nasional
Tak berhenti di situ, Gusdur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Lewat Keputusan Nomor 13 Tahun 2001, libur Imlek mulanya cuma berlaku bagi mereka yang merayakan.
Barulah pada 2003, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, keputusan ini ditindaklanjuti dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Penetapan ini diresmikan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002.
Megawati sendiri menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek pada 17 Februari 2002, setahun sebelum diberlakukannya libur nasional.
View this post on Instagram