apahabar, JAKARTA - Pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Selasa (6/17) masih mengundang banyak tanda tanya. Sebab dalam praktiknya, tidak sedikit pasal yang disinyalir mampu memukul balik demokrasi.
Fakta menariknya, hukum warisan Belanda ini sempat menjerat Soekarno dalam perjalanan politiknya.
Soekarno dalam biografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007), dengan rinci menceritakan bagaimana ia dan pidatonya yang syarat akan kritik terhadap Belanda dianggap membahayakan.
Selanjutnya 22 Desember 1930, Soekarno dituduh membuat perkumpulan dan pergerakan yang membahayakan Belanda dan Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Pengesahan RKUHP Dianggap Merugikan, Koalisi Masyarakat Sipil Sampaikan 7 Tuntutan
Soekarno, Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja dan Soepriadinatasembilan puluh tahun silam dianggap melanggar Pasal 169, 161, 153 dan 171 KUHP oleh pengadilan Lanraad Bandung. Mereka dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Sebelum ditetapkan sebagai terdakwa dan menjadi tahanan politik, Soekarno sempat menulis pidato Indonesia Menggugat. Pidato yang mungkin hingga hari ini digadang-gadang, sebagai api yang membakar para gerilyawan kemerdekaan di zaman tersebut.
Kini, KUHP yang menjadi musuh besar Soekarno dan kawan-kawannya disahkan dengan dalih pembaharuan hukum pidana nasional, yang diklaim sebagai upaya lepas dari kolonialisme. Akan tetapi, transparansi ini masih terasa janggal, terlebih KUHP yang disahkan syarat akan diskriminasi dan nir toleransi.
Baca Juga: Soal Pasal Karet di RKUHP, Wamenkumham: Sudah Dibedakan antara Penghinaan dan Kritik
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto dalam rilis resmi DPR menerangkan jika perumusah KUHP sudah melibatkan masyarakat.
"Berbagai kegiatan yang sifatnya menggali seluruh aspirasi masyarakat, diskusi terarah, sosialisasi dan pengayaan materi telah dilakukan. Oleh sebab itu, pembahasan terhadap draf UU KUHP telah berlangsung cukup komprehensif dan mendalam, mengingat pentingnya UU KUHP ini sebagai upaya pembaruan hukum pidana nasional," tuturnya.
Bertolak belakang, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat, setidaknya ada dua belas pasal yang justru lebih terasa kolonial daripada KUHP peninggalan Belanda.
Citra Referendum Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai Pemerintah dan DPR sama sekali tidak melibatkan masyarakat dalam proses perumusan maupun pengesahan KUHP.
"Seharusnya mereka berpihak kepada HAM sebagai pilar dari negara hukum," tukas Citra Rabu (7/12).