bakabar.com, BANJARBARU - Maraknya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), membuat kualitas udara di Banjarbaru memperihatinkan.
Hal itu banyak dirasakan warga, utamanya di Pengayuan, Kecamatan Liang Anggang. Terlebih di sana, nyaris tiap hari terjadi Karhutla.
"Yang pasti badan kami para relawan sudah mulai drop. Keadaan ini juga dialami oleh para relawan damkar yang lain," ungkap warga yang juga relawan peduli api di kawasan Liang Anggang, Hendra, Kamis (24/8/2023) tadi.
Kondisi yang dialaminya itu akibat padatnya aktivitas pemadaman Karhutla juga asap yang ditimbulkan.
"Warga banyak yang mengeluhkan sakit seperti batuk karena kabut asap yang terjadi sudah sampai masuk ke dalam rumah," ceritanya.
Warga Pengayuan lainnya Iin juga mengatakan demikian, bahkan sampai memilih mengungsi di rumah kerabatnya.
"Asap itu masuk rumah pas malam sampai pagi, saya punya anak bayi, karena asap berbahaya bagi orang dewasa apalagi bayi jadi saya putuskan tinggal di rumah keluarga di Martapura," cetusnya.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarbaru mengakui bahwa data pencemaran udara di Ibu Kota Kalsel ini beberapa waktu lalu masuk dalam kategori merah.
Per 21 Agustus tadi, Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien Kota Banjarbaru di RTH Masjid Al-Munawarah, mencatat terjadi peningkatan untuk Parameter PM 2,5, PM 10 dan HC.
"Pukul 8.00 wita, indikator di alat itu menunjukkan bahwa udara kita berada di kategori tidak sehat. Dengan angka 69 untuk PM2,5," ungkap Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum dan Pengendalian LH, DLH Kota Banjarbaru, Shanty Eka Septiani, Kamis (24/8).
Peningkatan ini terjadi lantaran Ibu Kota Provinsi Kalsel saat itu diselimuti kabut asap dampak Karhutla.
Lalu pada 22 Agustus, status mutu sudah dalam kategori sedang yang ditandai dengan warna biru, namun dengan parameter kritis di PM2,5 dan HC.
Kategori sedang ini berlanjut hingga Kamis siang, pada pukul 14.00 Wita, dengan parameter kritis di HC.
Meski demikian, Shanty mengakui bahwa data ini tidak menggambarkan kondisi udara di Kota Banjarbaru secara menyeluruh.
Karena kata dia, Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien di RTH Masjid Al-Munawarah hanya mengukur hingga radius 5 km.
"Kualitas udara yang sekitar Kecamatan Landasan Ulin dan Liang Anggang, kita merujuk pada data parameter kritis saja, untuk menyatakan mutunya secara angka atau pastinya gak bisa," ungkapnya.
Sedangkan Karhutla banyak terjadi di Kecamatan Liang Anggang tepatnya di Jalan Jurusan Pelaihari. Otomatis tak terjangkau dengan alat pengukur kualitas udara yang berada di Jalan Trikora, Kecamatan Banjarbaru Selatan.
Hal ini pun dibenarkannya, sehingga DLH Kota Banjarbaru menerka melalui parameter kritis juga membandingkannya dengan data di tengah kota.
"Kalau di tengah kota saja seperti itu, apalagi kondisi udara di wilayah yang sering terjadi Karhutla, misalnya Liang Anggang dan Landasan Ulin, bisa jadi di sana lebih parah," ungkapnya.
Lantas, mungkinkah kualitas udara di lokasi sering Karhutla masuk kategori tidak sehat?
"Iya kalau melihat kondisi di lapangan terjadi kabut asap dan disandingkan dengan hasil pemantauan di SPKUA terdapat parameter kritis," tegasnya.
Karena itu, Shanty mengimbau agar masyarakat bisa disiplin mengenakan masker dalam setiap beraktivitas, terutama pada pagi hari untuk mencegah dari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
DLH katanya juga diminta KLHK untuk mencari lokasi baru guna penambahan alat ukur kualitas udara.
"Ada beberapa lokasi yang kami usulkan, di antaranya di sekitar wilayah bandara. Karena kalau hanya di tengah kota, itu tidak menggambarkan kualitas udara sebenarnya," pungkasnya.
Baca Juga: Kalsel Darurat ISPA, Dari Ribuan Kasus HST Paling Banyak