bakabar.com, JAKARTA - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (AD), Jenderal Dudung Abdurrachman mendukung tiga prajurit TNI pembunuh Imam Masykur diseret ke peradilan koneksitas.
Mereka di antaranya Praka RM, Praka J, dan Praka HS yang menganiaya Imam Masykur hingga meregang nyawa.
"Ya, saya juga mendorong (peradilan koneksitas). Bagus itu, kalau menurut saya. Kami transparan saja; ya, kalau memang anggota kami terlibat, ya, hukum saja seberat-beratnya. Nggak ada masalah," kata Dudung di Mabes TNI AD, Selasa (5/9).
Baca Juga: Ibunda Imam Masykur Datangi Hotman Paris: Kami Mencari Keadilan!
"Kalau misalnya ada koneksitas, silakan saja. Saya setuju itu, bagus itu," sambung dia.
Selain ketiga prajurit TNI, ternyata pembunuh Imam Masykur melibatkan kakak ipar Praka RM yang merupakan warga sipil.
Praka RM diketahui merupakan anggota Paspampres, sementara Praka HS adalah anggota Direktorat Topografi TNI AD dan Praka J ialah anggota Kodam Iskandar Muda.
Terkait peradilan koneksitas, mekanismenya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.
Baca Juga: Bunuh Imam Masykur, ISESS Pertanyakan Rekrutmen Anggota Paspampres
Peradilan koneksitas itu dapat diterapkan ketika ada warga sipil yang bersama-sama anggota TNI melakukan tindak pidana umum, seperti penculikan, pemerasan, penganiayaan, atau pembunuhan.
Pasal 89 KUHAP menegaskan jika tindak pidana umum itu dilakukan oleh warga sipil dan anggota TNI, maka pemeriksaan perkara menjadi kewenangan peradilan umum; kecuali ada keputusan menteri pertahanan (menhan) dan menteri kehakiman/menteri hukum dan HAM (menkumham) yang menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh peradilan militer.
Baca Juga: Imparsial: 3 Anggota TNI Pembunuh Masykur Harus Diseret ke Peradilan Umum
Kemudian, Pasal 90 KUHAP mengatur jika ada perdebatan mengenai yurisdiksi, maka perlu ada penelitian bersama yang dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh para pihak terkait.
Terakhir, Pasal 91 KUHAP, yang juga mengatur soal yurisdiksi, mengatur ketika ada perdebatan otoritas peradilan militer dan umum, maka dilihat dari titik berat kerugiannya.
Jika kerugiannya lebih berat ke kepentingan umum, maka perkara itu di periksa oleh peradilan umum. Sebaliknya, jika kerugian dari suatu perkara lebih merugikan kepentingan militer, maka kasus itu dibawa ke peradilan militer.