bakabar.com, JAKARTA - Dua perusahaan raksasa dunia, Ford Motor asal Amerika Serikat, dan Zhejiang Huayou Cobalt asal Cina, telah menyepakati kerja sama investasi dalam proyek smelter nikel bersama PT Vale Indonesia Tbk.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebut nilai investasinya mencapai US$ 4,5 miliar. Ia bangga karena proyek itu bisa menyatukan Ford dan Huayou, ketika negara asal mereka sedang bertarung alias terlibat dalam tensi dagang yang tinggi.
Kedua perusahaan pun sepakat berkongsi dengan Vale untuk menggarap proyek smelter nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2025, kontrak karya PT Vale Indonesia segera berakhir. Dengan demikian, Vale harus melepas sahamnya untuk menambah kepemilikan Indonesia. Sejauh ini, kepemilikan perusahaan tambang nikel itu masih didominasi perusahaan asing, yakni Vale Canada Limited (VCL) 44,3% dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15%.
Baca Juga: Perusahaan Cangkang Kuasai Saham PT Vale, Begini Komentar Menteri ESDM
Kontrak Vale pertama kali dimulai pada tahun1968. Dengan demikian, 55 tahun sudah Vale menambang nikel di Indonesia. Dan sejauh ini, kepemilikan murni Indonesia hanya 20%, yakni dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID. Sementara itu, 20,7% saham merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga tidak murni dimiliki Indonesia.
Berakhirnya kontrak karya PT Vale, menurut peneliti senior Core Indonesia Muhammad Ishak jangan ditawar-tawar lagi. Artinya, IUP pertambangan PT Vale tidak perlu diperpanjang dan selanjutnya hak pengelolaan dikembalikan kepada negara, sehingga bisa dikelola oleh BUMN, seperti PT Antam.
"Dalam hal ini Antam sudah sangat berpengalaman dalam melakukan penambangan dan smelter baik Nickel Pig Iron, Ferronickel. Adapun keterbatasan pendanaan PT Antam untuk mengembangkan smelter khususnya untuk mengembangkan smelter HPAL sebenarnya tidak sulit karena bisa menggandeng bank-bank Himbara dan mendapatkan injeksi dari APBN melalui Penyertaan Modal Negara," ujar Ishak kepada bakabar.com, Senin (12/6).
Selanjutnya, kata Ishak, perlu adanya moratorium pengembangan nikel di Indonesia baik dari aspek pertambangan ataupun smelter.
Baca Juga: PT Vale Siapkan Divestasi Saham ke Pemkab Luwu Timur
"Pertambangan nikel baik yang dilakukan pemilik IUP ataupun yang ilegal telah menimbulkan dampak ekologi, sosial, dan ekonomi yang merugikan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan," terangnya.
Ishak menambahkan, "Hal itu telah menimpa para petani dan nelayan dan masyarakat di sekitar tambang dan pabrik smelter di Morowali, Konawe, Pomalaa, dan Halmahera."
Untuk itu, Ishak mendesak agar proses divestasi PT Vale dikawal secara ketat sehingga tidak mengulang proses divestasi perusahaan pertambangan di masa lalu seperti di Freeport, Newmont Minahasa dan beberapa perusahaan tambang lain.
"Dimana terdapat penumpang gelap yang mengatasnamakan pemerintah daerah, namun kenyataannya jatuh ke tangan oligarki yang bekerjasama dengan perusahaan tambang yang lama dan elit-elit politik di tingkat pusat dan daerah," jelasnya.