Hal tersebut mengacu UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Wahyu memaparkan pada Pasal 28 ayat 1, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindakan pidana terorisme berdasarkan bukti penerimaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari. Pun cukup bermodal informasi intelijen.
Apabila 14 hari belum cukup, kata dia, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum tempat kedudukan penyidik, sesuai bunyi Pasal 28 ayat 2.
Dalam kurun waktu 21 hari tersebut penyidik tentu harus menetapkan status terduga teroris menjadi tersangka. Dan meningkatkannya ke proses penyidikan. Tapi apabila tidak ditemukannya bukti permulaan yang cukup, maka terduga teroris harus dibebaskan.
"Hal ini tentunya untuk melindungi hak asasi manusia daripada terduga teroris. Apabila penyidik melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut, maka dapat diancam pidana," sambungnya lagi.
Lebih jauh, kata Wahyu, masalah substansi materi dan tata cara penyidikan adalah hak prerogatif penyidik Densus 88. Sehingga tidak bisa serta merta disampaikan ke publik.
Penyidik tentu saja harus sangat berhati-hati dalam melaksanakan pemeriksaan, karena proses ini nantinya yang menentukan apakah dapat dilanjutkan atau tidak, dan ditingkatkan atau tidak status terduga teroris A menjadi tersangka.
"Namun, pihak kepolisian dapat menginformasikan perkembangan kasus dan kondisi daripada si terperiksa," ucapnya.
Wahyu berharap pihak kepolisian tidak melakukan kesalahan dalam penangkapan dan pengungkapan kasus ini, yang kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti atau akibat informasi yang salah dari intelijen.
"Apabila memang terjadi salah tangkap, maka rehabilitasi harus diberikan kepada terduga teroris yang mengalami tindakan salah tangkap ini. Kita juga mengharapkan adanya keterbukaan informasi terkait perkembangan kasus tersebut, guna meningkatkan citra penegak hukum terkhusus kepolisian di mata publik yang memang humanis dan informatif dalam penanganan suatu perkara," pungkasnya.
Dilengkapi oleh Hendra Lianoor