bakabar.com, BANJAR – Sepi bak tak berpenghuni. Begitulah gambaran situasi Rabu (16/3) pagi ini di kediaman saudara A (24), pemuda Banjarmasin yang diamankan Tim Densus 88.
Pintu rumah terkunci rapat, baik kendaraan bermotor maupun sendal yang biasanya mejeng di halaman luar pun tak terlihat.
Meski demikian, seorang tetangga yang enggan namanya ditulis dalam berita mengakui bahwa kondisi tersebut sudah biasa.
Sebab, seluruh penghuni rumah -termasuk kakak ipar A, hampir saban hari sibuk bekerja. "Dari pagi sampai sore jelang malam baru balik biasanya," ucapnya kepada bakabar.com.
Hal senada juga disampaikan tetangga lainnya. "Kalau mau cari orangnya, malam biasanya baru pulang mas," katanya, tampak irit membeberkan informasi lebih jauh.
Selain itu, tak banyak pula aktivitas warga yang lalu lalang di salah satu kompleks perumahan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Tak bisa ditampik, sosialisasi di kawasan ini memang terkesan minim. Bahkan, tak banyak tetangga yang tahu ihwal penggerebekan Tim Antiteror Mabes Polri pada 27 Februari lalu.
A memang bukan penduduk asli kompleks itu. Ia merupakan warga Banjarmasin. Penangkapan di kediaman saudaranya kala itu hanya suatu kebetulan.
"Memang dia [A] sering nginap di rumah ini," kata E, kakak ipar A dalam wawancara langsung kepada bakabar.com, belum lama tadi.
A dikenal sebagai sosok pendiam. Ia sangat jarang melakukan interaksi, sekalipun dengan keluarga sendiri. A biasanya keluar hanya untuk melakukan ibadah berjemaah di masjid terdekat.
"Kalau ke rumah sini biasanya datang, makan, tidur. Sangat jarang interaksi bahkan cerita kesehariannya di luar," ungkap E.
Yang E tahu, adik iparnya itu berjualan membantu kakak kandungnya [istri E]. Lokasinya tak jauh dari rumah E.
Respons Densus 88
Teka-Teki Operasi Senyap Densus 88 di Sungai Tabuk, Tenggat Waktu Tersisa Hitungan Hari
Diwartakan sebelumnya, sampai kini keberadaan A belum diketahui pasti. A ditangkap Densus 88 lantaran diduga terindikasi paham Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ini
Pasca-penangkapan A, Lurah Hudan Azzuhry belum mendapat kabar apapun terkait kelanjutan kasus tersebut. Sama halnya dengan Ketua RT 12 B H Ghozali.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
"Terakhir saya sempat dimintai keterangan ke kantor Polsek Banjarmasin Tengah bersama satu teman saya. Harinya saya lupa, kalau tidak salah Rabu atau Selasa," ungkapnya, kepada bakabar.com, akhir pekan kemarin.
Saat kedatangan anggota yang disebut-sebut Densus 88, subuh itu, Ghozali tidak melihat langsung penangkapan A. Kebetulan jarak rumah Ghozali dan TKP sekitar 500 meter.
"Kami tidak melihat penangkapannya. Kejadiannya antara jam 05.00 atau 05.30, sementara saya dipanggil jam 7 pagi, diminta pendampingan untuk penggeledahan," ucapnya.
"Sesudah itu tidak ada kabar lagi, kami sebagai masyarakat biasa yang kebetulan sebagai RT ya sudah, kada [tidak] terlalu mempermasalahkan," sambungnya lagi.
Bagaimana pertanyaan polisi kala itu? Menurutnya, hanya pertanyaan biasa.
"Bujur [benar] lah ini orangnya dengan nama ini. Bujur kataku. Pian [kamu] pernah lah batagur (tegur sapa). Kami tidak pernah tegur sapa, kebetulan dia itu 15 hari di sini. Itu pun tidak melapor," kata ketua RT mencontohkan pertanyaan polisi.
Pihak keluarga A pun, kata Ghozali, langsung meninggalkan rumah pasca-penangkapan. Dirinya pun makin tidak tahu lagi kelanjutan kasus tersebut.
"Sudah tidak ada lagi di sini, entah pindah ke mana tidak tahu juga," tutur RT.
Polda Kalsel menyerahkan sepenuhnya kasus ini ke Mabes Polri. Densus 88 sendiri belum berbicara banyak mengenai penangkapan A.
Berulang lagi dihubungi, Kabag Bantuan Operasi Densus 88, Kombes Pol Aswin Siregar akhirnya merespons konfirmasi yang coba terus dilakukan bakabar.com sejak penangkapan A.
Kendati begitu, belum ada kepastian apapun yang diberikan oleh Densus 88. “Mohon waktu saya cek ke penyidik ya,” singkat Aswin, Selasa tadi malam (15/3). Hingga pagi ini, belum ada konfirmasi lanjutan dari Aswin.
Waktu 21 Hari
Penyebab Pemuda di Sungai Tabuk Ditangkap Densus 88 Versi Keluarga
Secara yuridis, akademikus Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam (STIHSA) Banjarmasin Wahyu menjelaskan tindak pidana terorisme berbeda penanganannya dengan pidana lainnya. “Karena masuk dalam extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa," kata Wahyu kepada bakabar.com.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Hal tersebut mengacu UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Wahyu memaparkan pada Pasal 28 ayat 1, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindakan pidana terorisme berdasarkan bukti penerimaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari. Pun cukup bermodal informasi intelijen.
Apabila 14 hari belum cukup, kata dia, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum tempat kedudukan penyidik, sesuai bunyi Pasal 28 ayat 2.
Dalam kurun waktu 21 hari tersebut penyidik tentu harus menetapkan status terduga teroris menjadi tersangka. Dan meningkatkannya ke proses penyidikan. Tapi apabila tidak ditemukannya bukti permulaan yang cukup, maka terduga teroris harus dibebaskan.
"Hal ini tentunya untuk melindungi hak asasi manusia daripada terduga teroris. Apabila penyidik melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut, maka dapat diancam pidana," sambungnya lagi.
Lebih jauh, kata Wahyu, masalah substansi materi dan tata cara penyidikan adalah hak prerogatif penyidik Densus 88. Sehingga tidak bisa serta merta disampaikan ke publik.
Penyidik tentu saja harus sangat berhati-hati dalam melaksanakan pemeriksaan, karena proses ini nantinya yang menentukan apakah dapat dilanjutkan atau tidak, dan ditingkatkan atau tidak status terduga teroris A menjadi tersangka.
"Namun, pihak kepolisian dapat menginformasikan perkembangan kasus dan kondisi daripada si terperiksa," ucapnya.
Wahyu berharap pihak kepolisian tidak melakukan kesalahan dalam penangkapan dan pengungkapan kasus ini, yang kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti atau akibat informasi yang salah dari intelijen.
"Apabila memang terjadi salah tangkap, maka rehabilitasi harus diberikan kepada terduga teroris yang mengalami tindakan salah tangkap ini. Kita juga mengharapkan adanya keterbukaan informasi terkait perkembangan kasus tersebut, guna meningkatkan citra penegak hukum terkhusus kepolisian di mata publik yang memang humanis dan informatif dalam penanganan suatu perkara," pungkasnya.
Dilengkapi oleh Hendra Lianoor