Opini

Komisi III Labrak Etika Publik

Oleh: Kadarisman KOMISI III DPRD Tabalong membuat heboh publik. Kehebohan terjadi bukan lantaran prestasi. Di saat…

Featured-Image
DPRD Tabalong. Foto-Wikipedia

Oleh: Kadarisman

img

Kadarisman. Dok. pribadi

KOMISI III DPRD Tabalong membuat heboh publik. Kehebohan terjadi bukan lantaran prestasi. Di saat bangsa ini mengisolasi diri, dan membatasi ruang gerak aktivitas untuk memutus mata rantai penyebaran corona, rombongan Komisi III melancong ke daerah epidemi corona, Jakarta.

Alih-alih kunjungan kerja (kunker) itu memberi manfaat bagi daerah, keadaan bisa jadi sebaliknya. Potensi rombongan terpapar covid-19 patut dan layak untuk diuji. Namun ada yang tak perlu diuji, kunker itu sudah pasti membuang uang rakyat.

Kementerian PUPR yang menjadi tujuan menutup “pintu”. Walhasil, tak ada apapun faedah yang dibawa pulang. Uang negara menguap dan publik dihinggapi kecemasan. Tak ada jaminan rombongan itu kebal dari corona. Tak ada jaminan, rombongan itu tidak membawa dan terjangkiti virusnya.

Wajar jika kemudian publik bersuara. Mereka menyoroti nilai kepantasan. Rombongan Komisi III DPRD Tabalong sama sekali tak menimbang keadaan bangsa dan rasa kepanikan publiknya itu sendiri.

Padahal Indonesia yang sedang dalam keadaan status darurat bencana secara nasional dari wabah corona. Mereka melabrak etika dan etiket publik. Pada akhirnya kegiatan normatif yang melekat pada hak-hak mereka sebagai legislator pun menjadi permasalahan publik.

Egoisme normatis yang legislator miliki selayaknya tak melabrak etika sosial. Segala ketentuan normatif yang dijadikan landasan kunker tak boleh abai pada etiket sosial masyarakatnya.

Jika tidak publik akan mencemooh dan memberikan pertimbangan sanksi elektoral politik yang kekuasaan itu ada di tangan publik.

Egoisme normatif tak dapat dilepaskan dari egoisme pribadi. Rachels (2004) memperkenalkan fenomena Komisi III DPRD Tabalong ini sebagai egoisme psikologis, di mana semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan yang berkutat kepada diri (self servis).

Siapapun bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakanyang terkesan luhur atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi.

Pada kenyataannya, mereka hanya peduli pada kelompoknya sendiri. Tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan normatif yang selama ini dijadikan pijakan. Mereka tak peduli betapa publik dihinggapi rasa kecemasan yang teramat sulit dimengerti para legislator.

Dalam kacamata etika administrasi publik, keadaan demikian dapat dikategorikan sebagai munculnya kecenderungan abuse of power, di mana organisasi publik seperti legislatif dihadapkan pada responsibilitas yang saling bertentangan akibat dari status dan peran yang harus dimainkannya.

Cooper (1990) mengemukakan bahwa kecenderungan penyimpangan tersebut berakar dari conflict of authority, conflick of role dan conflict of interest.

Diakui atau tidak, rumah rakyat yang menjadi hunian legislator itu tak akan pernah lepas dari kekuasaan di mana sekaligus terselif kepentingan, apakah itu kepentingan kolektif atau yang lebih sempit dari itu.

Etika dan etiket publik yang dilabrak ini sejatinya dapat diperbaiki. Hanya hal itu dibutuhkan kesadaran moralitas tingkat standar saja, tak usah tingkat tinggi.

Caranya adalah mereka dengan suka rela mendatangi pos kesehatan atau apapun tempat yang memiliki kapasitas untuk mendiagnosa apakah kepulangan mereka tidak disertai oleh Corona.

Mereka kemudian dengan rela hati mengisolasi diri sebagaimana anjuran-anjuran umum dalam mengantisipasi wabah corona. Minimal mereka mendapatkan form deklarasi bahwa saat ini mereka bebas Corona. Tidak sampai di situ, mereka juga rela hati untuk berstatus sebagai Orang Dalam Pengawasan instansi terkait.

Wali Kota Bogor, Bima Arya mungkin layak dijadikan contoh. Betapa sebagai pejabat publik dia kemudian mendeligasikan semua kewenangannya kepada wakil walikota untuk menjalankan tugas-tugasnya. Pada Akhirnya dia pun dalam isolasi.

Lalu, bagaimana dengan Rombongan Komisi III DPRD Tabalong?

Publik hanya berharap, mereka senantiasa dapat dipastikan kesehatannya dan dan menjalankan tugasnya kembali sebagai wakil rakyat, tetapi tetap dalam koridor etik dan etiket publik. Apa yang kemudian menjadi harapan publik, untuk dan demi kebaikan mereka juga, kebaikan kita bersama. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Pasca-Sarjana Administrasi Publik Unlam & Anggota KAHMI Tabalong

======================================================================

Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim.



Komentar
Banner
Banner