bakabar.com, JAKARTA - Sebelum dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), para ulama kenamaan zaman itu dikumpulkan untuk merapatkan organisasi tersebut. Di antaranya KHR As’ad Syamsul Arifin dan Buya Hamka.
Dalam tulisannya yang berjudul Kiai As’ad Bukan Ulama? Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo, Ainun Najib menjelaskan, sebagai perwakilan lama Jawa Timur, peran Kiai As’ad dalam pembentukan citra MUI sebagai perkumpulan para ulama cukup mengesankan.
Menurut dia, hal itu tergambar saat Kiai As’ad rapat terbatas bersama para ulama senior lainnya menjelang didirikannya MUI, seperti KH Bisri Syansuri, Buya Hamka, KH Syukri Ghazali, dan lain-lain.
Dalam rapat itu, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo itu sempat bertanya mengenai status dan orientasi dibentuknya MUI, yang kemudian dijawab oleh Mukti Ali bahwa MUI merupakan wadah para ulama.
“Lalu, siapa di antara kita-kita ini yang ulama? Kalau saya jelas bukan. Barangkali Buya Hamka itu yang ulama ya?” kata Kiai As’ad yang langsung dijawab oleh Buya Hamka.
“Lha kalau Kiai As’ad saja bukan ulama, apalagi saya,” timpal Buya Hamka kepada Kiai As’ad.
Menurut Ainun Najib, dialog tersebut menunjukkan kerendahan hati seorang Kiai As’ad yang tak mau gagah-gagahan menyandang status ulama, meski pengaruh dan ketokohannya sudah tak diragukan lagi. Sebab bagi Kiai As’ad, gelar ulama adalah derajat yang sangat tinggi dan mulia, yaitu mereka yang benar-benar takut kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah Ulama" (QS Surat Fathir: 28).
Dalam konteks ini, menurut Najib, ulama bukan sekadar gelar dalam strata sosial, namun ulama merupakan derajat ketakwaan seorang manusia yang tak sepatutnya ditampakkan, apalagi disombongkan. Akan tetapi di lain waktu, ulama harus tampil terdepan mengawal umat menggapai kemaslahatan.
Editor: Muhammad Bulkini