bakabar.com, SOLO - Sosok pendiri Sarekat Islam (SI) yang berasal dari Kampung Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah itu namanya begitu kondang.
Awalnya, sebelum menjadi SI sosok yang bernama Samanhudi itu membentuk perkumpulan pedagang batik Laweyan sekaligus laskar keamanan yang diberi nama Rekso Rumekso pada 1911.
Selanjutnya, pada 1912, Rekso Rumekso berubah menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI) cabang Solo yang akhirnya lebih dikenal dengan nama SI.
Sebagai informasi, sebelum dikenal sebagai SI yang bergerak dalam bidang politik, Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan sebuah organisasi yang berdiri untuk membantu masyarakat pedagang batik dan lain-lainnya untuk meningkatkan persaingan dagang dengan masyarakat Tionghoa.
Baca Juga: Napak Tilas Masjid Laweyan Solo, Dibangun Bekas Bangunan Pura
Menurut penuturan cicit Samanhudi, Prastyo Adi Wibowo (45) pada abad 19, para pedagang Tionghoa mendapatkan dorongan pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan produksi yang bahan bakunya dibeli langsung oleh seorang importir dari Eropa dengan harga yang murah.
Oleh karenanya, para pedagang Tionghoa bisa menjualnya dengan harga yang murah, sedangkan penjual batik lokal mendapatkan bahan bakunya dari khas perantara yang memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan impor dari Eropa.
"Akibat hal tersebut, harga batik lokal produksi masyarakat Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan dengan batik hasil pedagang Tionghoa," kata Pras saat ditemui bakabar.com di Laweyan, Minggu (3/4).
Baca Juga: Mengenal Tradisi Pembagian Bubur Samin Gratis di Masjid Daarulsalam Solo
Hal itulah yang disebut Pras mendorong Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surakarta, tepatnya di Kampung Batik Laweyan.
"Pendirian Sarekat Dagang Islam menjadi stimulus terhadap kondisi sosial ekonomi yang menyengsarakan rakyat pribumi terutama di kalangan para pedagang muslim," ujarnya.
Bahkan, menurut Prass, hadirnya SDI menjadi tameng rakyat untuk menghadapi sikap yang sombong dan demonstratif dari orang-orang Tionghoa setelah berhasilnya Revolusi Cina yang sempat mengakibatkan terjadinya konflik yang memuncak antara keduanya.
Kiprah Samanhudi semakin dikenal setelah pada Kongres pertama SI yang digelar di Surakarta pada 1913, ia terpilih sebagai ketua dan HOS Tjokroaminoto sebagai wakilnya.
Di bawah pimpinan Samanhudi, organisasi tersebut berkembang pesat sampai menjadi perkumpulan yang berpengaruh dalam pergerakan kemerdekaan.
"Sampai Tjokroaminoto menilai kata “dagang” pada SDI sangat membatasi ruang gerak organisasi, maka diubahlah menjadi SI yang akhirnya dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh wilayah Hindia (Indonesia) dan tidak hanya bergerak di bidang ekonomi, melainkan juga di sektor politik," imbuhnya.
Baca Juga: Menyusuri Tradisi Nyadran di Lereng Damalung
Namun, di Kongres SI berikutnya pada 18-20 April 1914 di Yogyakarta, Samanhudi justru disingkirkan oleh Tjokroaminoto.
Hal tersebut yang diduga menyebabkan pengaruh Samanhudi di SI semakin meluruh. Bahkan pada masa itu, Kantor Centraal Sarekat Islam (CSI) yang semula bertempat di Surakarta ikut dipindahkan ke Surabaya oleh Tjokroaminoto.