Opini

Kisah Desaku: Tolak Bala Cegah Corona

Oleh: Muhammad Robby INI cerita tentang desaku, sebuah perkampungan dengan mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani. Berjarak…

Featured-Image
Ilustrasi tolak bala di tengah wabah korona. Foto-kolase Tribunjabar.id

Oleh: Muhammad Robby

INI cerita tentang desaku, sebuah perkampungan dengan mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani.

Berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalsel, tepatnya di Desa Anjir Serapat Lama, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Dari Januari hingga Maret 2020, aktifitas pertanian berlangsung normal. Mulai menyemai bibit padi, membersihkan lahan persawahan sampai dengan bercocok tanam.

Namun, seketika semua itu berubah di saat pandemi virus corona atau Covid-19 mulai merambah di Kecamatan Wanaraya, Batola.

Wanaraya merupakan sebuah kecamatan transmigrasi yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari tempat tinggalku.

Tak hanya itu, terdapat satu warga desa tetangga yang diduga kuat juga sebagai Jemaah Ijtima Ulama se-Asia di Gowa, Sulawesi Selatan.

Bahkan, berdasarkan informasi berhembus, warga itu sedang sakit. Ironisnya, yang bersangkutan enggan dibawa ke rumah sakit.

Masyarakat setempat mulai merasakan was-was. Meskipun masih ada warga yang memberanikan diri untuk pergi ke sawah.

Memang dapat dimengerti, tak ada pekerjaan lain yang mampu menopang kehidupan di sana, selain bertani. Kalau tak begitu, anak dan istri mau diberi makan apa?

Berbagai ragam dan upaya senantiasa dilakukan demi mencegah penyebaran virus corona di desaku.

Dari mengikuti anjuran pemerintah #dirumahaja hingga menggelar ritual keagamaan berupa tolak bala.

Ya, tolak bala. Sebuah ritual keagamaan yang dipercayai masyarakat setempat mampu mengusir hal-hal jahat atau mudarat.

Di Tanah Kelahiranku ini, tolak bala identik dengan agama Islam.

Di mana, ratusan warga berkeliling kampung membacakan Selawat Burdah sembari membawa sebatang obor yang terbuat dari bambu.

Dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia sangat hikmat mengikuti acara tolak bala tersebut.

Di sini, tolak bala dihelat selama tiga kali berturut-turut, setiap Kamis malam. Di penghujung acara, tolak bala ditutup dengan selamatan.

Begitulah ritual yang dilakukan masyarakat setempat demi mencegah penyebaran virus mematikan asal Wuhan China itu.

Melalui tolak bala, secercah harapan terpatri di sanubari warga desaku yang menginginkan agar wabah ini cepat berlalu.

Kalian boleh percaya, dan boleh tidak ihwal ritual tolak bala tersebut.

Namun, virus corona merupakan musuh nyata yang harus dipercaya dan dilawan. Meskipun tak terlihat secara kasat mata.

Virus ini tak hanya ‘gentayangan’ di perkotaan, namun juga merambah ke pedesaan.

Berdasarkan data dunia, per 12 April 2020, terdapat 1.833. 685 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Dengan total pasien sembuh 420.917 orang dan kematian mencapai 113.296 orang.

Di Indonesia, jumlah pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 berjumlah 4.421 orang. Adapun pasien sembuh 359 orang, sedangkan meninggal 373 orang.

Terkadang saya merasa gerah mendengar celotehan orang yang memandang virus corona ini dengan sebelah mata.

Seperti hal: Ah, bohong itu! Paling itu konspirasi! Gak ada virus corona itu! Akal-akalan China aja itu!

Hello! World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia itu sudah berkoar-koar mensosialisasikan bahaya wabah virus corona.

Sudah berapa banyak tenaga medis Indonesia yang gugur saat menangani pasien virus corona.

Apakah Anda masih tak percaya?

Jangan kedepankan egomu di atas keselamatan keluargamu. Mari kita bersama-sama agar lebih waspada terhadap virus ini.

Pemerintah pusat dan daerah telah berjibaku mencari benang merah dari permasalahan ini.

Semoga badai corona ini cepat berlalu dan kita sambut Ramadan 1441 Hijriah dengan senyuman.

Penulis adalah jurnalis di bakabar.com

======================================================================

Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim.



Komentar
Banner
Banner