Haul Gus Dur

Ketum PBNU: Tak Ada Gus Dur, Saya Jadi Anggota FPI

Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengungkapkan tema Haul ke-13 KH Abdurrahman Wahid 'Gus Dur dan Pembaharuan NU' selaras dengan sepak terjangnya.

Featured-Image
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf berbagi cerita di Haul ke-13 Gus Dur di kediaman Ciganjur, Sabtu (17/12). (Foto: apahabar.com/Kindy Arrazy)

bakabar.com, JAKARTA - Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menilai bahwa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berhasil mentransformasikan wajah NU menjadi terbuka dan lebih maju.

Hal itu diungkapkan Gus Yahya saat menghadiri Haul ke-13 Gus Dur yang mengangkat tema 'Gus Dur dan Pembaharuan NU' di kediaman Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (17/12).

Menurutnya, tema haul yang diangkat pada tahun ini selaras dengan sepak terjang dalam kepengurusan Gus Dur saat menjadi Ketua Umum PBNU periode 1984-1999.

"Saya berubah karena mengenal Gus Dur. Kalau saat itu tidak ada beliau dan saat itu ada FPI saya akan daftar ke FPI," kata Gus Yahya dalam sambutannya.

Baca Juga: Ketum PBNU 'Bongkar' Kewalian Gus Dur

Dikatakan dia, perubahan NU menjadi lebih baik juga dirasakan oleh Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU, yakni Gus Ulil Abshar Abdallah.

Ulil sendiri merupakan anak dari KH Abdullah Rifai yang selama ini dikenal sebagai kiai paling fundamentalis di kalangan elit NU.

Terlebih, latar belakang pendidikan Ulil yang juga jebolan dari Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), berpeluang menjadikannya seorang fundamentalis.

"Gus Ulil sekarang malah jadi intelektual kosmopolitan karena diubah oleh Gus Dur," ungkapnya.

Baca Juga: Tahlil Peringatan Haul Gus Dur Diselenggarakan Serentak di 6 Pondok Pesantren

Sepak terjang Gus Dur terlihay saat berusaha dengan keras membongkar mindset ulama, model konvensional dan aktivisme lama dengan membawa NU berkembang lebih konstruktif.

Bagi Gus Yahya, gagasan Gus Dur tentang masa depan Islam dan NU lebih rasional jika dibandingkan dengan kelompok lain yang cenderung radikal dan fundamentalis.

Pada periode tahun 1970 sampai 1980-an, generasi Islam mengalami tekanan kultural dan politik di mana-mana.

Di Indonesia, Islam mengalami tekanan Orde Baru dan secara global mendapatkan tekanan dari Barat.

"Saat itu, kelompok Islam merespons dengan kekerasan," bebernya.

Baca Juga: Haul ke-13, Gus Dur dan Pembaruan NU Merefleksikan Gagasan Besar Kebangsaan

Di sisi lain, Gus Dur justru merespons cara menolong Islam adalah dengan menolong kemanusiaan seluruhnya.

Hal itu lantaran kenyataan peradaban sekarang adalah wawasan yang lebih realistis daripada cara lain seperti melalui cara kekerasan.

"Kredo menghidupkan Gus Dur karena ada PR untuk menjalankan visi masa depan beliau, yaitu perlu memperbaiki NU secara keorganisasian sehingga bisa koheren NU bisa menentukan nasib Indonesia juga dunia," tutupnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner