Tak Berkategori

Kalbar-Kalteng Desak Moratorium Sawit, Kaltim Tuntut Anak Tewas di Lubang Tambang

apahabar.com, BANJARMASIN – Indonesia akan terus menjadi perhatian dunia internasional manakala deforestasi seolah tak terbendung di hutan…

Featured-Image
Di selatan Polandia, ribuan aktivis lingkungan dari penjuru dunia menyuarakan pendapat mereka mengenai perubahan iklim, termasuk Indonesia. Foto-foto: WALHI for apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN– Indonesia akan terus menjadi perhatian dunia internasional manakala deforestasi seolah tak terbendung di hutan Indonesia.

Saat ini, penggundulan hutan umumnya disumbang dari perkebunan skala besar seperti perkebunan sawit, kebun kayu dan tambang.

Isu deforestasi itu diangkat oleh aktivis WALHI dalam putaran The 24th session of the Conference of the Parties (COP 24) Katowice-Polandia, Minggu (9/12).

Dari Kaltim, WALHI setempat memilih isu anak anak yang tewas di lubang tambang. Sedangkan, dari Kalbar dan Kalteng, WALHI mendesak diberlakukannya moratorium atas izin sawit.

Baca Juga:Di Polandia, WALHI Minta Para Kepala Negara Serius Tangani Perubahan Iklim

“Di Kalimantan Barat saja perkebunan kelapa sawit telah menguasai lebih dari 4 juta hektar,” ujar Dimas Hartono, Direktur WALHI Kalimantan Tengah dalam keterangan resminya kepada bakabar.com, siang ini.

Hutan di Kalteng, kata Dimas, setiap tahunnnya hilang seluas 132 ribu hektar akibat industri ekstraktif.

“Sampai detik ini masih terjadi deforestasi di Kalimantan Tengah," katanya.

Serupa, di Kalimantan Barat, laju deforestasi adalah persoalan serius dalam perluasan perkebunan sawit.

Baca Juga:40 Ribu Hektar di Pegunungan Meratus Bakal Diusulkan Hutan Adat

"Komitmen Gubernur Kalbar untuk segera mengimplementasikan kebijakan moratorium dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Barat harus terus ditagih,” ujar Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat.

Implementasi kebijakan moratorium dan percepatan pengakuan pengelolaan hutan oleh rakyat adalah jalan utama mewujudkan keadilan iklim, kata Anton.

Selain deforestasi untuk perkebunan skala besar, di Kaltim, hutan dihancurkan untuk tambang batubara.

"Di saat berbagai negara sudah meninggalkan batubara, Indonesia masih terus bergantung pada batubara, industri kotor, rakus dan mematikan,” ujar Fathur Roziqin Fen, Direktur WALHI Kalimantan Timur.

Anak-anak mati di lubang tambang batubara, kata Ikin -sapaanya- mesti diketahui oleh dunia internasional. Hati masyarakat Kaltim, ujarnya, akan kembali terenyuh jika sampai ada korban ke-33.

“Ini semua harus diakhiri, jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi di sektor energi", tegas

Di Indonesia umumnya WALHI menilai upaya penurunan emisi dengan menghentikan laju deforestasi saat ini tak bisa dilakukan sepihak saja.

Pemerintah pusat mesti menekan Pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan dalam kepentingan pendapatan daerah.

Adalah kesesatan berpikir menurut WALHI jika beranggapan bahwa deforestasi dapat menghasilkan pendapatan daerah.

“Negara justru harus menanggung biaya lingkungan akibat penghancuran hutan yang sistematis dilakukan,” ujar Ikin.

Menggandeng ribuan massa, pagi tadi, WALHI-Friends of the Earth Indonesia mengambil bagian dalam gerakan global March for Climate “Wake up! It’s Time to Save Our Home! di Katowice, Polandia.

Aksi turun ke jalan itu didorong oleh masyarakat sipil dalam putaran The 24th session of the Conference of the Parties (COP 24) Katowice-Polandia.

Dalam COP 24 ini, WALHI menyuarakan berbagai fakta persoalan dan krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim di tingkat tapak.

Saat demo 4000-an aktivis dari seluruh dunia hadir menyuarakan isu lingkungan di tingkat bawah itu.

“Kami khusus membawakan isu yang tengah terjadi di Indonesia,” jelas Ikin dihubungi reporter bakabar.com, siang tadi.

Ikin mengatakan, perubahan iklim sebagai problem global tak bisa dilepaskan dari fakta krisis yang terjadi di tingkat tapak di berbagai belahan dunia, Indonesia salah satunya.

Namun faktanya, ia menyebut, hingga putaran COP 24 ini, belum ada upaya yang signifikan dari para pihak, untuk mengoreksi model pembangunan dunia yang konsumtif yang memicu krisis iklim.

Ujarnya lagi, report IPCC terbaru menunjukkan ancaman yang begitu nyata yang harus dialami akibat jika suhu bumi tidak ditahan di bawah 1,5 derajat celcius.
Kelangkaan air, krisis pangan dan dampak kesehatan yang akan dialami oleh penduduk bumi.

Indonesia, kata Ikin, masih berkutat dengan isu deforestasi. Penggundulan hutan masih menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia yang disumbang dari perkebunan skala besar seperti perkebunan sawit, kebun kayu dan tambang.

WALHI menjadi salah satu peserta konferensi Indonesia yang berpartisipasi dalam acara United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ini, sebuah kesempatan mengenalkan Indonesia kepada dunia.

Baca:Di Polandia, WALHI Minta Para Kepala Negara Serius Tangani Perubahan Iklim

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner