Hot Borneo

Jurus Jitu Maliki Lolos dari Jerat Jaksa Kalsel Sebelum OTT KPK

apahabar.com, BANJARMASIN – Sebelum terjerat operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, Maliki rupanya pernah tersandung masalah…

Featured-Image
Nyanyian Maliki kali ini menyeret nama seorang jaksa di Kejati Kalsel. Foto Maliki: Antara

bakabar.com, BANJARMASIN – Sebelum terjerat operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, Maliki rupanya pernah tersandung masalah hukum.

Mantan Plt Kadis PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) itu pernah berurusan dengan Kejaksaan Tinggi Kalsel terkait kasus hukum yang terjadi pada 2013.

Maliki sendiri membenarkannya di sidang lanjutan yang menghadirkan Abdul Wahid sebagai saksi mahkota di Pengadilan Tipikor Banjarmasin siang tadi, Rabu (9/3).

Menurut pengakuan Maliki, persoalan itu pun pernah dia sampaikan ke Wahid. “Saya saat itu diminta menyelesaikan,” kata Maliki.

Yang menarik adalah Maliki mengaku pernah menyerahkan duit sebesar Rp300 juta kepada salah satu oknum pegawai di Kejati Kalsel.

“Saya serahkan ke Sahrul Kejati,” terang Maliki.

Maliki harus menyampaikan persoalan itu ke Wahid. Lantaran duit Rp300 juta yang diserahkan ke Sahrul bersumber dari anggaran di Dinas PUPRP HSU.

Nama Sahrul memang sempat masuk daftar pemeriksaan penyidik KPK dalam kasus korupsi komitmen fee di HSU.

Dia masuk dalam 10 daftar nama yang diperiksa penyidik KPK di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalimantan Selatan, Banjarbaru, Kamis 23 September 2021.

Diketahui, Maliki didakwa karena diduga telah menerima suap berupa komitmen fee 15 persen untuk dua pengerjaan proyek di Bidang Sumber Daya Air SDA, Dinas PUPRP HSU.

Komitmen fee yang nilainya mencapai setengah miliar tersebut diterima Maliki dari dua kontraktor, Marhaini selaku direktur CV Hanamas, dan Fachriadi direktur CV Kalpataru untuk pengerjaan proyek DIR Kayakah dan DIR Banjang.

Selain itu, Maliki juga didakwa telah bersama-sama bersekongkol dengan Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid dalam pengaturan pemenang lelang.

Atas tindakannya tersebut, Maliki didakwa dengan pasal Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Dan alternatif, Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Diwartakan sebelumnya, Wahid hadir sebagai saksi mahkota dalam skandal suap fee proyek Pemkab HSU. Wahid tiba di PN Tipikor Banjarmasin, Jalan Pramuka, sekitar pukul 11.50, Rabu (9/3). Dia diberangkatkan langsung dari tahanan KPK di Jakarta.

Wahid sendiri telah berstatus sebagai tersangka atas kasus korupsi komitmen fee 15 persen terkait pengerjaan DIR Banjang dan Kayakah di HSU. Ia juga diancam KPK menggunakan pasal pencucian uang. Sidang berlanjut Rabu depan, 16 Oktober. Agendanya pemeriksaan terdakwa.

Wahid bersaksi di halaman selanjutnya:

Ssstt Uang Haram Eks Bupati HSU Mengalir ke Pusat!

Sebuah fakta menarik juga terungkap dalam kesaksian Abdul Wahid saat menjadi saksi mahkota dalam sidang Maliki di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (9/3).

Maliki adalah mantan bawahan Wahid yang lebih dulu ditangkap tangan KPK dalam sebuah operasi senyap di Amuntai, 15 September 2021 silam.

Lewat nyanyian mantan Plt Kepala Dinas PUPRP HSU ini, keterlibatan Wahid dalam skandal suap-fee proyek senilai belasan miliar rupiah di lingkup pemerintahan tersingkap.

Pada sidang siang tadi, terungkap jika duit korupsi hasil dari komitmen fee proyek di Dinas PUPRP Kabupaten HSU ternyata juga diduga mengalir ke pemerintah pusat.

Di hadapan majelis hakim, Wahid berkata ada sekitar 3-5 persen komitmen fee yang diserahkan ke salah satu oknum di Kementerian Keuangan RI.

Nantinya, persenan ini digunakan sebagai duit pelicin agar anggaran dari Kementerian Keuangan dapat dikucurkan ke Dinas PUPRP guna pembangunan infrastruktur.

“Ada permintaan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Yang pasti bukan dana DAK [alokasi khusus]. Biasanya kita melakukan lobi ke Kemenkeu,” ujar Wahid saat dicecar Jaksa KPK.

ASN HSU Bolak-balik KPK, Bupati Wahid Kini Terancam Jerat Kasus Baru

Lantas Jaksa KPK mempertanyakan siapa oknum dari Kemenkeu itu? Meski mengaku pernah bertemu, namun Wahid mengaku lupa nama oknum tersebut.

“Pernah ketemu. Saya lupa namanya,” kata Wahid.

Dalam kesaksiannya, Wahid menerangkan bahwa pemberian komitmen fee 3-5 persen ke Kemenkeu itu dilakukan sejak 2019.

“Kalau untuk pemerintah pusat, ketika ada informasi akan ada dana turun sekian. Sejak tahun 2019, ada permintaan 3- 5 persen untuk Jakarta,” bebernya.

Di sisi lain, Wahid membantah habis-habisan jika dia yang meminta komitmen fee 13-15 di masing-masing bidang di Dinas PUPRP HSU.

Padahal, dari keterangan sejumlah saksi yang sebelumnya dihadirkan KPK semua sepakat menunjuk hidung Wahid.

Sebut saja, Maliki. Pria yang juga merangkap Kabid SDA diminta komitmen fee 15 persen. Kemudian Kabid Bina Marga, Rahmani Noor, bersama Kasi Jembatan, Marwoto mengaku diminta komitmen fee 13 persen. Begitu pula dengan Kabid Cipta Karya, Abraham Radi.

“Saya enggak pernah meminta ke terdakwa (Maliki) sejumlah komitmen fee. Enggak ada minta 13 persen. Itu kan anggaran pusat,” katanya.

Tak hanya itu, Wahid juga membantah bahwa dia pernah memanggil pejabat Dinas PUPRP HSU di sebuah ruangan tepat samping rumah dinasnya di Amuntai guna kongkalikong komitmen fee.

Belum cukup, Wahid juga membantah pernyataan Marwoto dalam kesaksiannya di sidang sebelumnya bahwa pernah menyerahkan komitmen fee di 2019 sebesar Rp2,5 miliar dan Rp2,5 miliar di 2020.

“Itu tidak pernah ada,” kata Wahid.

Wahid menepis jika dia pernah menerima duit sebanyak itu. Dia hanya mengaku pernah menerima duit dari Maliki total Rp240 juta di 2019 – 2020.

Rinciannya, duit Rp240 juta itu diserahkan Maliki sebanyak tiga kali. Di 2019 Rp110 juta, 2020 Rp100 dan Rp20 juta. Wahid menyebutnya duit honor.

“Maliki bilang itu honor saya. Saya tidak tahu itu dari siapa,” kata Wahid.

Saat penggeledahan di rumah Wahid, penyidik KPK menemukan 33 item barang bukti berupa duit pecahan rupiah maupun dolar senilai Rp3 miliar lebih.

Jaksa KPK pun mempertanyakan ihwal asal-muasal duit sebanyak itu. Wahid pun lagi-lagi mengaku tak tahu dari mana duit tersebut berasal.

“Saya sudah disumpah tadi. Sepengetahuan saya saya tidak tahu itu dari siapa,” Wahid mengakhiri kesaksiannya. Sidang berlanjut Rabu depan, 16 Oktober. Agendanya pemeriksaan Maliki.

Komentar
Banner
Banner