Nasdem ingin mengulang langkah Partai Demokrat, yang begitu memenangkan SBY langsung melejit sebagai partai pemenang pemilu dan meraih kursi terbanyak di parlemen. Langkah by pass diambil untuk mendapatkan manfaat lebih besar. Kalaupun ada hambatan, maka itu bisa dianggap sebagai “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Yang harus dipikirkan dengan matang adalah tidak ada satu rumus tunggal yang berlaku dalam dunia politik Indonesia. Pelajaran dari keterpilihan semua presiden adalah konteks sosial dan politik yang tidak sama.
SBY naik karena banyak yang tidak setuju dipimpin perempuan, kemudian butuh figur antitesis. Jokowi naik karena saat itu ada ketidakpuasan pada pemerintahan SBY, yang di masa akhir-akhir periodenya, muncul banyak kasus korupsi di Partai Demokrat.
Saat ini, kepuasan pada pemerintah masih cukup tinggi, sebagaimana bisa dilihat pada hasil survei banyak lembaga. Jokowi masih keliling Indonesia untuk meresmikan berbagai proyek infrastruktur.
Namun, dalam politik, segala hal bisa terjadi, sepanjang dirancang dengan baik dan dikelola dengan benar. Jika memilih jalur oposisi, Nasdem akan lebih tegas dalam bersinergi dengan capres Anies untuk menurunkan kartu yang bikin gerah pemerintah.
Saatnya mengeser isu pada agenda-agenda perubahan. Pengalaman selama di pemerintahan akan menjadi amunisi berharga dalam merumuskan apa saja titik lemah di pemerintahan, yang harus dibenahi ke depan.
Nah, bisakah Nasdem mengusung arus perubahan dengan para elite yang terbiasa nyaman di pemerintahan?
Bahkan untuk mengendalikan Demokrat dan PKS untuk pengumuman koalisi bersama, Nasdem gagal. Dari sisi politik, Demokrat tentunya tak ingin dalam kendali Nasdem, mengingat mereka punya sumber daya politik dan perolehan suara lebih besar. Sementara PKS bisa jumawa sebab menilai diri lebih matang di jalur oposisi.
Di sisi lain, sumber daya Nasdem jelas tak berdaya menghadapi semua sumberdaya yang saat ini digenggam Jokowi. Saat ini, kendali kuasa politik dan ekonomi masih di tangan Jokowi. Jemari Jokowi masih bisa mengendalikan para pengusaha, konglomerat, kartel, dan semua barisan pemain politik.
Bisakah Nasdem menang hanya dengan mengandalkan kader yang ideologinya rapuh, selalu melihat celah untuk menang, dan siap jadi kutu loncat saat partai ditinggalkan?
Mengutip Otto van Bismarck, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.
Di jenggot Surya Paloh, publik Nasdem menggantungkan harapan untuk masa depan partai yang lebih baik.