bakabar.com, JAKARTA – Hari Ahad nyatalah tentu, pukul empat jam di situ, berbunyi guruh menderu-deru, dikatakan kapal apinya itu. Gaduhlah orang di dalam negeri, mengatakan datang kapalnya api, lalu berjalan berperi-peri. Nyatalah Rakata empunya bunyi.
Demikianlah Syair Lampung Karam menggambarkan betapa kalutnya pesisir Lampung tatkala Gunung Krakatau meletus pada 26 Agustus 1883. Bak belum puas, Krakatau terus mengamuk hingga tubuh gunung itu ambruk ke dasar laut, yang lantas memicu tsunami keesokan harinya, 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi.
Gelombang tsunami setinggi 30 meter itu, dalam sekejap, meluluhlantakkan pesisir Banten dan Lampung. Akibatnya, bencana tersebut menewaskan sekitar 36.417 jiwa, di mana 31.000 di antaranya meregang nyawa saat tsunami melanda, sedangkan sisanya hangus karena aliran piroklastik menerjang permukiman.
Sejumlah laporan bahkan menyebut kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudra Hindia hingga pantai timur Afrika. Tulang belulang ini disinyalir mendiami wilayah perairan itu selama setahun pascaerupsi.
Pertanda Petaka Malah Disambut Gembira
Cikal bakal peristiwa mematikan ini ternyata sudah terendus tiga bulan sebelumnya. Kamis dini hari, tepatnya 10 Mei 1883, penjaga menara suar Eerste Punt yang belokasi di Tanjung Layar, Banten, merasakan getaran sekaligus menyaksikan penampakan ombak yang menggelak.
"Mula-mula getarannya kecil, lebih mirip udara yang menggeletar, serangkaian angin yang menyapu, kelebatnya atmosfer yang nyaris tak terasakan," ungkap Simon Winchester, seperti dikutip dari Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.
Selang beberapa hari, getaran lemah itu menjalar sampai ke area Selat Sunda. Bahkan, pada 20 Mei 1883, salah satu gunung api di Pulau Krakatau, Gunung Perbuwatan, memuntahkan awan dan debu setinggi 11.000 meter. Kejadian ini sebagaimana dilaporkan oleh komandan kapal perang Jerman, Kapten Hollman, yang kala itu tengah singgah di Anyer untuk mengisi persediaan logistik.
Dia menulis laporan yang berbunyi, "Kami melihat sebuah awan kumulus putih naik dengan cepat dari pulau itu. Awan itu nyaris vertikal, dan setelah sekitar setengah jam ia mencapai ketinggian sekitar 11.000 meter. Di situ ia mulai menyebar seperti sebuah payung, mungkin karena ia sudah mencapai ketinggian angin anti-pasat, sehingga tak lama kemudian hanya sebagian kecil dari langit biru itu yang tampak di cakrawala."
Meski sudah banyak laporan mengenai gejala alam yang tak lazim, penduduk setempat kala itu mafhum bahwa gempa dan erupsi lumrah terjadi di Hindia Belanda. Malahan, aktivitas vulkanik ini disambut dengan gembira, sebagaimana dilaporkan History. Kegembiraan yang mulanya dirayakan penduduk, niscaya berubah menjadi bencana besar.