bakabar.com, JAKARTA - Aksi sadis polisi berulang kali terjadi. Polisi menggunakan kekerasan dengan dalih pengendalian massa.
Sebut saja yang belakangan terjadi adalah tragedi berdarah Kanjuruhan yang telah menewaskan ratusan korban jiwa.
Diantaranya 131 meninggal, termasuk 33 anak masih dibawah umur.
Tentunya tragedi itu menjadi fokus perhatian pemerintah maupun masyarakat sipil untuk segera diusut.
Lantas pemerintah membentuk tim gabungan khusus yakni Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan.
Hingga saat ini tim itu sudah menemukan beberapa fakta temuan, yaitu keterlibatan anggota polisi dan TNI dalam peristiwa naas usai pertandingan Persibaya vs Aremania.
TGIPF beberkan timbulnya korban jiwa akibat dari efek gas air mata yang digunakan oleh aparat kepolisian.
Diketahui Polisi saat itu tidak melakukan prosedur yang sesusi tentang penggunaan kekuatan.
Upaya pencegahan sama sekali tidak ada saat mulainya kerusuhan, mereka langsung menembakan gas air mata dengan sadisnya.
Akibatnya, dari kejadian itu ditetapkan enam tersangka, tiga diantaranya adalah anggota polisi.
Penetapan enam tersangka itu usai tim investigasi melakukan tahap penyidikan.
Selain tragedi Kanjuruhan, Berikut jejak brutal polisi sepanjang 2019-2022, Seperti dikutip bakabar.com, Jakarta, Selasa (11/10):
Kerusuhan Bawaslu
suhan di BawasluKasus kerusuhan akibat aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat terjadi pada Rabu, 22 Mei 2019 silam.
Bentrok antara massa dengan aparat keamanan sudah terjadi sejak Selasa 21 Mei 2019 pukul 23.00 WIB hingga Rabu 22 Mei 2019.
Bisa dibilang ini merupakan peristiwa memilukan yang mencoreng demokrasi di Indonesia.
Aksi tersebut bertujuan untuk menolak hasil rekapitulasi pemilu 2019 dari KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Akibat aksi itu 10 orang tewas, dan 300 anggota polisi jadi tersangka.
Aksi #Reformasidikorupsi
Aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi itu menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.
Rangkaian aksi itu pun diwarnai kericuhan antara aparat dan peserta aksi. Sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak jelas polisi melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul ke arah demonstran yang sudah tidak berdaya.
Di Jakarta, aksi sadis oleh polisi itu menyebabkan 5 orang masa aksi meinggal dunia.
Tim Advokasi untuk Demokrasi juga menerima setidaknya 390 aduan ihwal adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam penanganan aksi itu.
Demo Tolak Omnibus Law 2020
Akibat dari aksi unjuk rasa penolakan omnibus law UU Cipta Kerja menyebabkan kericuhan.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrin, mencatat ada 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh polisi.
Tak hanya itu, sebanyak 187 demonstran yang berasal dari aliansi mahasiswa ditangkap oleh polda metro jaya.
Penembakan Laskar FPI
Peristiwa penembakan terjadi di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek (7/12/20) itu melibatkan tiga polisi, yaitu Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira serta enam anggota laskar FPI.
Baku tembak tersebut awalnya menyebabkan dua laskar FPI, Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan tertembak dan meninggal dunia.
Polisi kemudian melakukan pengejaran terhadap empat anggota laskar FPI lainnya. Keempat laskar FPI itu berhasil dilumpuhkan.
Mereka di antaranya Muhammad Reza, Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi.
Lantas keempatnya dimasukkan ke mobil Daihatsu Xenia dengan nomor polisi B-1519-UTI untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.
Kendati demikian, polisi tidak melakukan penangkapan sesuai SOP, yakni tidak memborgol tangan keempat laskar FPI.
Akibatnya, keempat laskar FPI melakukan perlawanan dan berusaha merebut senjata api milik polisi. Perlawanan yang terjadi di dalam mobil itu berujung pada tertembaknya keempat laskar FPI.
Keempatnya tewas setelah sejumlah peluru menembus di dada kirinya. Jenazah mereka kemudian dibawa ke RS Polri.
Di atas merupakan sebagian jejak brutal polisi dengan dalih pengendalian massa.