bakabar.com, JAKARTA – Tarif listrik bagi pelanggan yang dikategorikan mampu (3000 VA ke atas) akan dinaikkan pemerintah. Kebijakan ini akibat lonjakan harga komoditas energi imbas perang Rusia-Ukraina.
Persetujuan Jokowi ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam rangka meminta kenaikan anggaran subsidi energi di Gedung DPR/MPR pada Kamis (19/5).
“Bapak Presiden dan kabinet sudah menyetujui untuk berbagi beban, untuk kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu direpresentasikan oleh mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas,” ungkap Sri Mulyani, dilansir CNN Indonesia.
Kendati begitu, belum ada kejelasan mengenai berapa besar kenaikan tarif yang akan berlaku. Begitu juga dengan waktu kenaikan tarif tersebut.
Namun, Sri Mulyani mengatakan harga komoditas lain tidak akan naik. Untuk itu, pemerintah akan menambah anggaran subsidi dan dana kompensasi bagi ketersediaan energi untuk masyarakat.
“Beberapa harga komoditas tidak dilakukan perubahan,” imbuhnya.
Semula, pagu subsidi energi sebesar Rp134,8 triliun di APBN 2022. Namun, pemerintah memperkirakan kebutuhan anggaran subsidi energi akan mencapai Rp208,9 triliun.
Pasalnya, ada kenaikan harga minyak mentah dunia yang turut mengerek harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pemerintah memperkirakan asumsi ICP yang semula berada di kisaran US$63 per barel naik menjadi US$100 per barel.
“Jadi kami usulkan untuk tambahan subsidi energi Rp74,9 triliun untuk BBM, LPG, dan listrik. Untuk BBM dan LPG Rp71,8 triliun dan listrik Rp3,1 triliun. Ini kami usulkan untuk dibayarkan keseluruhan,” jelas Sri Mulyani.
Selain subsidi energi, bendahara negara juga meminta restu Banggar DPR untuk menaikkan alokasi dana kompensasi energi dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun. Dana ini akan diberikan ke PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) yang telah menanggung beban selama harga komoditas naik beberapa waktu terakhir.
“Sehingga kenaikan kompensasi tahun ini Rp216,1 triliun,” ucap Sri Mulyani.
Sementara, pemerintah juga masih memiliki utang pembayaran dana kompensasi senilai Rp108,4 triliun pada 2021. Dengan begitu, total kebutuhan dana kompensasi mencapai Rp324,5 triliun pada tahun ini.
“Tapi kami usulkan di UU APBN hanya ditambahkan Rp275 triliun saja, ini termasuk sampai Desember ini kami minta audit BPKP. Nanti sisanya dibayarkan pada 2023 sebesar Rp49,5 triliun, yaitu Rp44,5 triliun untuk BBM LPG dan Rp5 triliun untuk listrik,” tutup Sri Mulyani.