Pratikno menjelaskan pihaknya setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR telah dilakukan review. Kemudian menemukan sejumlah kekeliruan bersifat teknis.
“Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya. Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi,” ungkap Pratikno.
BACA JUGA : Sah Ditandatangani Jokowi, Pasal 6 UU Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Sorotan, Ada Apa?
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai, adanya kesalahan baik akibat salah tik atau penyusunan pasal/bab, membuktikan proses pembentukkan UU Cipta Kerja sangatlah buruk. Kesalahan demi kesalahan ditemukan sejak UU Cipta Kerja disahkan di Rapat Paripurna DPR bahkan hingga ditandatangani oleh Presiden.
"Buruknya proses (pembentukan undang-undang), ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengkerdilkan proses pembuatan undang-undang, padahal undang-undang itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya," ujar Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020), sebagaimana. dilansir dari Republika.co.id.
Menurutnya, jika ada masih adanya kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja, membuat pasal tersebut tak berlaku.
Perbaikan pun tak bisa kembali dilakukan, karena presiden juga telah menekennya menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
"Dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerapan pasal saja. Harus persis seperti yang tertulis," ujar Bivitri.
Selain Pasal 6, Bivitri juga menemukan kesalahan lainnya, terdapat di Pasal 53 pada halaman 757. Pada ayat (5) yang berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”.
Ia menjelaskan, ayat 5 Pasal 53 seharusnya merujuk pada ayat 4 bukan 3 seperti yang tertulis dalam naskah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena undang-undang tidak bisa diubah begitu saja. Kalau cuma perjanjian bisa direvisi," ujar Bivitri.