Kemitraan JETP

Inisiatif JETP, JATAM: Sebuah Kemitraan yang Eksploitatif

Pemerintah Indonesia telah menandatangani surat kesepakatan pendanaan dengan negara G20 pada 15 Nopember 2022.

Featured-Image
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif saat meresmikan Sekretariat JETP di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (16/2) Foto: Kementerian ESDM

bakabar.com, JAKARTA -  Pemerintah Indonesia telah menandatangani surat kesepakatan pendanaan dengan negara G20 pada 15 Nopember 2022. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam program pendanaan kemitraan transisi energi yang adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP). 

Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung International Partners Group (IPG) antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE). Tujuannya untuk meningkatkan konsumsi energi terbarukan dan mengurangi energi batubara. 

Investasi JETP untuk Indonesia sebanyak 10 miliar dolar berasal dari IPG. Serta 10 miliar dolar dari hutang di bawah koordinasi Gugus kerja Aliansi Keuangan Glasgow untuk Net Zero (GFANZ), terdiri dari HSBC, Standard Chartered, Bank of America, Citi, Deutsche Bank, MacQuarie, dan MUFG.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, JETP tidak memberikan solusi dalam mengurangi konsumsi energi fosil dan emisi karbon.

Baca Juga: JATAM Laporkan KKP ke Presiden Jika Pencemaran Laut Masih Berlanjut

JETP dinilai menggunakan isu ketergantungan energi fosil dalam hanya sebagai dalih. Lantaran adanya transaksi dan kompensasi. Industri yang mampu bayar, tak perlu mengurangi emisi karbon.

"Jelas, JETP lebih menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan swasta daripada rakyat Indonesia," kata Koordinator JATAM, Melky Nahar, Sabtu (17/6).

Ia menambahkan, "Intinya, JETP Indonesia adalah kemitraan eksploitatif yang tidak menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi krisis iklim."

Ketika JETP menghadirkan narasi terkait transisi energi, adil, dan kemitraan, Jatam melihatnya sebagai agenda yang terselubung. Menurut Jatam ada tiga hal yang bisa dimaknai dari inisiatif tersebut.

Pertama, mengubah perhatian dan pengalihan kesepakatan anggota PBB, dari upaya penghentian kegiatan ekstraktif yang bersumber dari energi fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara) menjadi transaksi kompensasi keuangan atas nama ekonomi rendah karbon dan segudang sebutan lainnya.

Baca Juga: Hari Anti Tambang 2023, JATAM: Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif

Itulah mengapa, dalam analisisnya, Jatam menyebut, “Dalam penjungkir-balikan akal sehat seperti itu, perusahaan-perusahaan energi fosil raksasa dan industri yang bergantung padanya bahkan akan bisa mengaku telah mencapai emisi Nol sambil terus memperbesar semburan gas rumah-kaca.”

Kedua, adanya perluasan pasar industri energi beserta rantai industri ekstraktif, ditambah dengan infrastruktur teknologi dan peran lembaga keuangan/pembiayaan yang berkelindan di dalamnya. Sasaran utamanya, menurut Jatam adalah negara-negara Selatan, termasuk Indonesia yang dikenal sebagai emerging markets.

Ketiga, adanya protokol penjaminan keamanan demi kepentingan investasi jangka panjang atas wilayah-wilayah koloni industri, terutama koloni industri energi dari negara maju. Bahkan, telah disiapkan pembaruan sistem transaksi dan penghitungan pendapatan nasional, mekanisme dan instrumen regulasi, akses bebas ke bagian manapun dari wilayah kedaulatan negara yang bisa dieksploitasi, dan jaminan penguasaan ruang jangka panjang.

Karena itu, menurut Jatam, tidak mungkin diselipkan gagasan keadilan dalam skema JETP. 

Editor
Komentar
Banner
Banner