Tolak Pengesahan

Inilah 12 Pasal Bermasalah KUHP dan Penjelasannya

Sedikitnya, ada dua belas pasal bermasalah yang berpotensi untuk mengkriminalisasi banyak pihak.

Featured-Image
suasana demonstrasi tolak RKUHP. Foto:apahabar.com/Reka

apahabar, JAKARTA - Gelombang penolakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) semakin besar.

Demonstrasi di hampir seluruh kota di Indonesia terus terjadi. Hingga Selasa (6/12) ratusan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP memenuhi depan pelataran DPR RI. Protes terkait pasal-pasal bermasalah dan keterbukaan informasi terdengar kian lantang. 

Sedikitnya, ada dua belas pasal bermasalah yang berpotensi untuk mengkriminalisasi banyak pihak. Berdasarkan catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP aturan-aturan yang termuat merupakan aturan yang tajam ke bawah, tumpul keatas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum menjelaskan jika ke dua belas pasal bermasalah itu mempunyai potensi diskriminasi pada masyarakat sipil. Padalah menurutnya KUHP harusnya bisa melindungi masyarakat bukan sebaliknya. 

Baca Juga: Kemah di Depan Gedung DPR Protes Penolakan KUHP, Wakil Ketua Enggan Temui Pendemo

"Seharusnya (Pemerintah) mereka berpihak pada masyarakat," kata Citra Rabu (7/12). Berdasarkan catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah yakni:

1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di
masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.

Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP
menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan
hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Baca Juga: Tabur Bunga dan Bakar Kitab, Demo Tolak KUHP Terus Berlangsung

Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia
masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

2. Pasal terkait pidana mati. Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.

Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.

Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau
penghapusan hukuman mati.

Baca Juga: Komnas HAM Desak RKUHP Hapus Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan

3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan
dengan Pancasila di muka umum Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”.

Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”.

Baca halaman selanjutnya

Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.

5. Contempt of court. Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa.

Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.

6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini
berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.

7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE. Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam
UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.

Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena
ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

8. Larangan unjuk rasa. Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.

Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat. Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini.

Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.

Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.

10. Mempidana korban kekerasan seksual. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

11. Meringankan ancaman bagi koruptor.Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat. 

12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat.Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus.

Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

Editor


Komentar
Banner
Banner