bakabar.com, JAKARTA - Manajer Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR) Wira Swadanamemandang setelah kepemimpinan Indonesiadi ASEAN, perlu secara konsisten memastikan pelaksanaan gagasan rendah karbon.
Caranya dengan mengutamakan pengembangan energi terbarukan ketimbang mengadopsi teknologi yang secara keekonomian dan teknis belum terlalu teruji.
Tidak hanya itu, Indonesia perlu menunjukkan komitmen dan strategi penurunan emisi yang lebih kuat. Berdasarkan pemeringkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) oleh Climate Action Tracker (CAT) pada 2022, Indonesia masih berstatus ‘Sangat Tidak Memadai’.
"Beberapa penyebab rendahnya peringkat Indonesia tersebut di antaranya ketidakkonsistenan strategi di sektor energi," ujar Wira dalam diskusi publik “Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Front-runner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi” dikutip Sabtu (21/10).
Baca Juga: Penurunan Konsumsi Batu Bara, IESR: Siapkan Transformasi Ekonomi
Mengacu pada RUPTL 2021-2023, persentase bauran batu bara justru meningkat dari 62% di tahun 2025 menjadi 64% pada 2030. Pemerintah juga tengah mengembangkan kerangka regulasi terkait teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage CCS/Carbon Capture Utilization Storage CCUS) dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat (hub) CCS di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Wira, keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 menunjukkan peningkatan ambisi dan implementasi iklim dan energi yang telah dilakukan. Namun demikian, Indonesia masih terlalu fokus terhadap pembangunan infrastruktur yang belum terbukti penggunaanya seperti CCUS, dan mengembangkan ekosistem kendaraan bermotor listrik (Electric Vehicles/EV) tetapi belum fokus pada prinsip-prinsip mobilitas berkelanjutan.
“Seharusnya Indonesia dan negara-negara ASEAN bisa fokus pada aksi dan kerja sama yang lebih tegas seperti pembangunan ekosistem pengembangan energi terbarukan dan fokus terhadap praktik-praktik pengembangan mineral transisi/kritikal yang berkeadilan dan bertanggung jawab,” terangnya.
Senada, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR Arief Rosadi menuturkan, selain Indonesia, 4 anggota ASEAN Member States (AMS) lainnya seperti Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam juga masuk dalam kategori tidak memadai ambisi iklimnya berdasarkan CAT.
Baca Juga: IESR dan Ford Foundation Serukan Keadilan dalam Transisi Energi
Untuk itu, ASEAN perlu meningkatkan ambisi iklimnya, salah satunya dengan penurunan emisi yang signifikan di sektor energi dan merefleksikan peningkatan ambisi tersebut pada dokumen perencanaan energi regional berikutnya (ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation, APAEC).
Terdapat empat kesenjangan (gap) yang harus diselesaikan. Pertama, kesenjangan kelembagaan ASEAN tercermin pada kelembagaan isu energi dan iklim yang masih terpisah-pisah.
"Misalnya pengaturan bidang yang tidak dalam kerangka yang sama, misalnya isu energi yang berada di bawah pilar ekonomi ASEAN, sementara isu iklim di bawah pilar sosial budaya ASEAN," terang Arief.
Untuk itu, kata Arief, ASEAN memerlukan pemetaan mengenai peran dan tanggung jawab kelembagaan secara komprehensif agar pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan regional menjadi efektif dan efisien.
Baca Juga: Asean Dorong Kebijakan India Melihat ke Timur: Indo-Pasifik Bebas Merdeka
Arief melanjutkan, kesenjangan kedua adalah kesenjangan ambisi iklim yang belum selaras Persetujuan Paris. Ketiga, kesenjangan implementasi transisi energi yang masih terkendala faktor politis dan teknis dengan pemberian ruang bagi teknologi yang belum teruji seperti CCS. Keempat, kesenjangan partisipasi masyarakat sipil yang sangat terbatas.
"Keempat kesenjangan ini, perlu dibenahi secara internal di ASEAN," katanya.
Indonesia mempunyai peran strategis, mengingat profilnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki pengaruh politik signifikan di ASEAN.
"Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya dalam mendorong agenda transisi energi terus berlanjut sebagai pembahasan utama dalam keketuaan Laos di ASEAN di 2024,” tandas Arief.