bakabar.com, JAKARTA - Hujan buatan yang terjadi akhir pekan lalu adalah bentuk teknik modifikasi cuaca.
Melakukan eksperimen cuaca ini terkenal sulit dilakukan, serta terdapat standar yang harus diterapkan. Seiring berkembangnya teknologi, para peneliti mencari cara yang benar untuk membuat hujan buatan ini.
Hujan buatan merupakan suatu bentuk upaya modifikasi kondisi cuaca di tempat tertentu, dengan melalui teknik penyemaian awan (cloud seeding), dengan hasil akhir adalah meningkatkan jatuhnya air dari awan ke permukaan tanah.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi curah hujan, secara artifisial, mengurangi suhu yang terlalu panas di suatu kawasan, membantu suplai air untuk pertanian dan irigasi serta mengurangi kekeringan pada beberapa wilayah di dunia.
Hujan buatan beberapa kali dilakukan di Indonesia untuk meredakan kebakaran di hutan kahutla beberapa tahun yang lalu, oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Baca Juga: Hadapi Hujan Ekstrem, Kenali Dulu Teknologi Modifikasi Cuaca
Teknologi Modifikasi Cuaca
Di Indonesia sendiri hujan buatan sudah bukan barang baru, lantaran BPPT telah memiliki teknologi yang disebut Teknologi Modifikasi Cuasa (TMC).
TMC pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soeharto pada 1977, ketika itu Habibie diutus untuk mempelajari TMC dan didampingi asisten dari Thailand. Tujuannya untuk mendukung sektor pertanian dan mengisi waduk secara strategis.
TMC dilakukan untuk merealisasikan hujan di daerah tertentu, dengan bantuan awan yang ada di atmosfer dan menebar garam ke dalam awan hujan, sehingga bisa turun hujan di tempat tertentu yang diinginkan sesuai kebutuhan.
"TMC ini bukan pembuat hujan, namun mempercepat kondensasi yang terjadi di awan," ujar Budi Harsoyo selaku Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dalam melakukan operasi TMC, pihaknya juga bekerjasama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), untuk memberikan data dan informasi cuaca, awan serta arah angin.
Juga bekerja sama dengan TNI AU menyediakan armada pesawat, untuk menaburkan garam tersebut ke dalam awan. Kemudian pesawat tersebut membawa muatan garam (NaCl) yang akan menyemai awan hujan, yang diharapkan akan turun di wilayah yang diinginkan.
Seperti yang dilakukan pada Minggu, 27 Agustus lalu, BMKG telah berhasil membuat hujan di sebagian wilayah Kab. Bogor dan Depok, Bogor, Jakarta dan Tangerang Selatan, menggunakan TMC.
Efek dari Hujan Buatan
Namun pembuatan hujan ini memanfaatkan reaksi kimia, yang dapat menghasilkan risiko dan memicu beberapa akibat negatif, senyawa kimia yang digunakan diketahui dapat memicu hujan asam dan berakibat fatal untuk lingkungan dan manusia.
Dalam sebuah penelitian, paparan partikel sulfat dikaitkan dengan penurunan detak jantung bagi seseorang dengan risiko penyakit kardiovaskular.
Namun penelitian tersebut tetap mencatat bahwa perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut, untuk memahami risiko kesehatan dengan lebih baik
"Kualitas air hujan sangat berisiko bagi kesehatan, karena tingkat keasaman pada air tersebut sangat tinggi," demikian disampaikan Harsoyo, dilansir akun resmi BRIN.
Baca Juga: Badai Ekstrem di Jabodetabek Siap Dikendalikan Teknologi Modifikasi Cuaca, Bagaimana Caranya?
Hal tersebut disebabkan karena percampuran kimia antara belerang (SOx) dan nitrogen (NOx) menghasilkan asam yang terjadi di langit. Yang memiliki dampak bagi kesehatan seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, ISPA atau saluran pernapasan akut dan kronis, sakit kepala, juga iritasi mata, hidung, dan tenggorokan.
Selain itu diketahui untuk membuat hujan rekayasa ini menelan dana yang cukup mahal, yaitu sebesar $18 juta atau berkisar Rp274 juta.
Harsoyo mempercayai bahwa hujan buatan yang dilakukan timnya tak menggunakan bahan kimia bersifat asam, yang menyebabkan hujan asam dengan pH dibawah 5,6.
"Garam TMC dan yang dikonsumsi itu prosesnya berbeda, garam untuk hujan buatan mengalami proses hingga 2-3 kali penggilingan untuk memperoleh ukuran yang lebih kecil dari garam dapur," tutup Harsoyo.