bakabar.com, PELAIHARI – Kenaikan harga solar bersubsidi menjadi kabar buruk untuk nelayan kecil di Tanah Laut.
Pemerintah sudah memutuskan menaikkan harga solar bersubsidi dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter sejak 3 September 2022.
“Kenaikan itu otomatis membuat operasional nelayan bertambah. Di sisi lain, penghasilan mereka tidak sesuai dengan biaya operasional,” ungkap Plt Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tala, Alimuddin Aco, Senin (5/9).
“Makanya kami sangat menyayangkan keputusan pemerintah yang menaikkan harga solar bersubsidi, karena nelayan akan semakin susah,” imbuhnya.
Terlebih sebelumnya nelayan sudah menjerit akibat kesulitan mendapatkan solar bersubsidi. Seperti di Muara Kintap yang terdata memiliki 217 nelayan.
“Idealnya 217 kapal memperoleh satu ton per bulan. Faktanya pasokan yang tersedia hanya sekitar 30 persen,” beber Alimuddin.
“Selebihnya nelayan terpaksa membeli solar dari pedagang eceran. Tentunya dengan harga yang lebih tinggi hingga mencapai Rp16 ribu per liter,” imbuhnya.
Ironisnya kenaikan solar bersubsidi berbarengan dengan Pertalite. Biasanya kenaikan harga BBM ini juga memicu peningkatan banderol bahan pokok dan kebutuhan lain.
“Nelayan semakin tidak diuntungkan dan bahkan semakin sulit. Bukan hanya operasional melaut yang naik, semuanya naik termasuk biaya anak sekolah dan bahan pokok,” tukas Alimuddin.
Diharapkan setelah menaikkan harga, pemerintah juga dapat menjamin solar bersubsidi benar-benar sampai kepada nelayan.
Pemerintah juga diminta membuat kebijakan yang membuat SPBU Pertamina maupun AKR terdekat bisa memprioritaskan nelayan.
“Kalau tidak mendapatkan solar, sudah pasti nelayan tak akan melaut. Artinya mereka tak memperoleh pemasukan dan kebutuhan keluarga tersendat,” urai Alimuddin.
“Walaupun akan disalurkan bantuan langsung tunai, tampaknya tidak terlalu efektif. Penyebabnya tidak semua warga bisa mendapatkan bantuan ini,” tandas Alimuddin.