bakabar.com, JAKARTA - Pengusaha minyak kelapa sawit atau CPO yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengaku tidak khawatir dengan Undang Undang Produk Bebas Defortasi Uni Eropa yang melarang impor produk terkait deforetasi termasuk minyak kelapa sawit.
Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (25/1) menjelaskan pasar produk kelapa sawit akan tetap ada, meskipun Uni Eropa menerapkan kebijakan terbaru soal sawit yang berkelanjutan.
“Pasar sawit itu akan tetap tumbuh karena ini kan basic need ya untuk makan, energi, industri. Jadi Indonesia ketakutan kehilangan Eropa? Tidak ya, karena pasar yang lain akan terus tumbuh dengan baik,” ujar Joko.
Joko beranggapan Eropa sebenarnya tidak ingin melarang sawit karena pada saat Indonesia melarang ekspor sawit pada 2022, Eropa sempat kebingungan untuk mencari negara pengekspor sawit sehubungan dengan kebutuhan industri Eropa yang cukup tinggi.
Baca Juga: Siapa Sangka, Ekspor Limbah Sawit Kalsel Datangkan Cuan Rp15,03 Miliar
“Buktinya pelarangan ekspor pun kebingungan dan ngejar-ngejar presiden juga,” ucapnya.
Indonesia, menurut Joko, harus tetap fokus untuk memperjuangkan sawit masuk dalam perdagangan global, di mana pun pasarnya. Ini penting mengingat kuota impor sawit dari negara-negara lain terus meningkat.
GAPKI mencatat setidaknya ada sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia. Negara-negara itu adalah China, India, Amerika Serikat, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia.
Sementara itu, Amerika Serikat naik peringkat dari yang sebelumnya di posisi 5 pada tahun 2022 menjadi peringkat 3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada tahun 2022.
Baca Juga: Produsen Sawit Diminta Tingkatkan Kerja Sama Pasca Aturan Baru Uni Eropa
“Amerika Serikat sudah 2 juta lebih, padahal dulu cuma 400.000-an,” ungkap Joko.
Menurut Joko, hal itu sejalan dengan banyaknya negara bagian di Amerika Serikat yang menggunakan biodiesel. Akibatnya dari sisi makanan dan energi pertumbuhannya cukup bagus seiring permintaan yang juga meningkat.
Kendati demikian, Joko menilai yang terpenting adalah kemampuan strategi diplomasi Indonesia. "Contohnya UU Deforestasi, Indonesia melakukan usaha termasuk melalui tim support dan kampanye, jadi mestinya orang melihat kita bisa me-lobby,” tandasnya.