Polemik Dana Desa

DPR Nilai Tuntutan Dana Desa Rp300 Triliun Masuk Akal

Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menyebut tuntutan kepala desa terkait pengajuan dana desa sebesar 10 persen dari APBN atau sekitar Rp300 triliun merupakan tuntutan

Featured-Image
Dedi Mulyadi dan guru yang dipecat akibat komentar "maneh" di unggahan Instagram Gubernur Jabar, Ridwan Kamil. (Foto: Antara)

bakabar.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menyebut tuntutan kepala desa terkait pengajuan dana desa sebesar 10 persen dari APBN atau sekitar Rp300 triliun merupakan tuntutan yang lumrah.

“Pengajuan dana desa 10 persen dari APBN yang diajukan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) itu hal yang lumrah dilakukan para kepala desa,” kata Dedi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/3).

Baca Juga: Anggawira: Dana Desa Jangan Dihabiskan untuk Hal Konsumtif

Dedi berpendapat sistem pemerintahan Indonesia tak luput dari peran desa. Terlebih potensi sumber daya alam, termasuk industri berada di desa.

Namun baru saat ini desa mendapatkan alokasi dana desa untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang berdampak pada perkembangan desa.

“Jadi baru 'disawer' sedikit saja desa sudah tumbuh, apalagi kalau dibangun sistem memadai tentang bagi hasil antara pusat dan desa, itu akan berefek ke pertumbuhan ekonomi, infrastruktur sampai investasi desa,” ujarnya.

Baca Juga: Penyaluran Dana Desa Bermasalah, Aturannya Perlu Dievaluasi

Adapun kekhawatiran penyimpangan pengelolaan dana desa, menurut Dedi, hal tersebut terjadi karena anggaran desa selalu menjadi sorotan dan yang menyorotinya banyak, mulai dari oposisi yang tak lain kelompok yang kalah saat pencalonan kepala desa, LSM yang kini banyak fokus pada anggaran desa yang sengaja datang ke desa untuk mempertanyakan dana desa.

Hal tersebut, lanjut dia, berbeda dengan anggaran kabupaten, kota, dan provinsi apalagi pusat yang memiliki anggaran sangat besar sehingga sulit diawasi dan yang mengawasinya sedikit.

Ia menyebutkan semakin tinggi jenjang pemerintah semakin sulit untuk diakses dan diawasi. Sebaliknya, semakin bawah jenjang pemerintahan semakin mudah untuk diawasi.

“Contoh kecilnya saja di desa ada jalan lingkungan yang setiap hari dilewati warga, dilewati oposisi, LSM, dan lain-lain. Jalan itu sangat gampang diawasi dan laporannya gampang, berbeda dengan jalan nasional,” pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner