bakabar.com, BANJARMASIN – Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif, Abdul Wahid, divonis delapan tahun penjara.
Dia juga didenda Rp500 juta subsider enam bulan penjara karena terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan korupsi bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TTPU).
“Menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara,” ujar Hakim Yusriansyah dalam amar putusannya di Pengadilan Tipikor PN Banjarmasin, Senin (15/8).
Wahid dinyatakan bersalah karena terbukti telah menerima suap Rp29 miliar lebih dari 2015 hingga 2021. Dia juga terbukti bersalah telah melakukan TTPU Rp10,5 miliar.
Vonis yang dijatuhkan tersebut lebih ringan satu tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, JPU KPK menuntut agar Wahid dipenjara sembilan tahun.
Namun, tak semua tuntutan JPU KPK dikabulkan dalam nota putusan setebal 700 halaman tersebut. Hakim membebaskan Wahid dari tuntutan uang pengganti Rp26 miliar. Alasannya, dalam berkas dakwaan dan tuntutan, JPU KPK tak memasukkan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor. Itu menjadi dasar tuntutan ganti rugi.
Selain itu, Wahid juga dibebaskan dari tuduhan gratifikasi sesuai yang tertuang dalam tuntutan di pasal 12B Undang-undang Tipikor Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Hakim berpendapat mereka tak menemukan tindakan gratifikasi dalam perkara ini. Semua yang dilakukan Wahid murni merupakan tindak pidana suap.
“Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berbarengan sebagaimana dakwaan kedua,” ucap Yusriansyah.
Atas putusan tersebut, JPU KPK maupun penasihat hukum Wahid menyatakan pikir-pikir. Menanggapi putusan itu, JPU KPK, Titto Zailani mengatakan pihaknya menghormati keputusan yang telah diambil majelis hakim.
Titto menyatakan fakta-fakta yang mereka tuntut dalam masalah gratifikasi diambil alih majelis hakim dan dimasukkan dalam pembuktian suap.
“Artinya kalau suap ada pemberinya. Tadi sudah disebutkan Marwoto dan kawan-kawan menurut hakim selaku pemberi, dan harus diminta pertanggungjawaban pidana,” bebernya.
Selain itu, menanggapi soal tak adanya pasal 18 dalam dakwaan, sehingga Wahid dibebaskan dari tuntutan ganti rugi, masih menajadi perundingan dan pertimbangan apakah nantinya KPK melakukan banding atau menerima putusan tersebut.
“Nanti akan kami laporkan ke pimpinan apa yang menjadi sikap kita apakah banding atau menerima,” jelasnya.
Sementara itu, Penasihat Hukum Wahid, Fadli Nasution, menyatakan dengan tak dikabulkannya pidana gratifikasi memperjelas bahwa perkara yang dituduhkan ke kliennya masih tak sempurna, sehingga menimbulkan pertanyaan siapa orang yang menjadi pemberi jika Wahid dituduh menerima suap.
“Sementara pemberi hanya Marhaini dan Fachriadi. Hanya Rp195 juta. Sementara TTPU-nya lebih dari Rp10 miliar,” ujar Fadli.
Karena dianggap tak sempurna, besar peluang pihaknya untuk melakukan banding atas putusan ini.
“Karena perkara ini tak sempurna maka ada peluang kami untuk banding. Kalau bebas kenapa nggak dibebaskan sekalian. Putusan ini gantung saya kira seperti itu,” katanya.
“Kalau gratifikasinya nggak terbukti dari mana TTPU-nya? Sementara Marhaini dan Fachriadi hanya Rp195 juta suapnya. Jadi bingung. Jadi, kami diskusikan dulu ke pak Abdul Wahid langkah apa yang akan diambil,” pungkas Fadli.