bakabar.com, JAKARTA – Tambang PT Freeport Indonesia diramalkan baru akan berproduksi normal pada rentang 2022-2023.
“Hari ini kami sudah transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Produksi tambang Freeport sekarang ini tidak dalam kapasitas normal. Produksi kami baru sekitar 60 persen. Normalnya itu diperkirakan dari rencana pertambangan kita yaitu tahun 2022-2023,” kata Direktur PT Freeport Indonesia Claus Wamafma di Timika, Minggu (11/9), dilansir Antara.
Dengan kapasitas produksi baru sekitar 60 persen dari kondisi normal selama masa transisi maka secara otomatis akan berdampak pada pendapatan perusahaan.
Termasuk alokasi dana kemitraan yang akan dikucurkan kepada masyarakat lokal yang saat ini pengelolaannya dipercayakan kepada Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK).
“Kalau produksi kami hanya 60 persen maka otomatis dana ini akan terganggu bahkan dana satu persen juga akan terganggu sampai kondisi pertambangan kita kembali normal. Selama masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah sekarang ini tidak ada lagi penambangan di atas, semua turun ke bawah untuk menyiapkan areanya dan segala infrastruktur yang dibutuhkan,” jelas Claus.
Saat ini produksi tambang Freeport di wilayah Tembagapura, Mimika masih terus berjalan sekalipun pandemi COVID-19.
“Semua tetap berjalan sesuai dengan target dan rencana yang ditetapkan perusahaan, tentu dengan mengedepankan protokol Covid-19. Produksi tetap jalan lancar, tidak ada kendala,” tambah VP Govrel PT Freeport Indonesia Jonny Lingga.
Aktivitas produksi tambang Freeport beberapa waktu lalu sempat terhambat saat terjadi pemalangan dan pemogokan karyawan di Mile 72 untuk menuntut penyediaan bus cuti kerja sementara di Timika dan pembayaran insentif selama masa pandemi.
“Saat pemogokan itu produksi sempat terhenti selama empat hari. Kalau sekarang sudah normal kembali, sudah tidak ada lagi persoalan dengan rekan-rekan karyawan,” jelasnya.
Beberapa hari lalu, manajemen PT Freeport Indonesia bersama (YPMAK) diundang oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng guna membicarakan menyangkut kelanjutan pengelolaan dana kemitraan atau yang populer dikenal sebagai dana satu persen.
Dana kemitraan itu dihitung satu persen dari pendapatan kotor hasil penjualan produk (bijih tambang) Freeport sebelum dikurangi dengan pajak dan komponen biaya lainnya
Dana kemitraan dikucurkan PT Freeport Indonesia sejak 1996 untuk tujuan pemberdayaan masyarakat asli sekitar area pertambangan yaitu Suku Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan di Kabupaten Mimika, Papua.