bakabar.com, JAKARTA – Diskriminasi yang kerap terjadi pada Pekerja Rumah Tangga (PRT) memunculkan keresahan. Bukan hanya kekerasan fisik, tetapi para pekerja ini juga sering mendapatkan kekerasan dalam bentuk lain, misalnya ekonomi.
Kekerasan atas dasar relasi kuasa ini, dilakukan oleh majikan dengan cara menahan upah sehingga para pekerja tidak mendapatkan haknya.
Hal ini disebabkan karena belum ada regulasi yang memberikan pelindungan dan pemenuhan hak-hak untuk PRT. Mengingat ada jutaan warga negara Indonesia menjalankan profesi sebagai PRT, baik di dalam maupun di luar negeri.
Ketua Jaringan Nasional Advokat (JALA) PRT Ari Ujianto, menegaskan bahwa pentingnya untuk mendesak pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan rancangan tersebut menjadi UU PPRT. Mengingat banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh kaum marginal ini.
Ari menilai dengan pemerintah dan DPR menetapkan rancangan ini, maka dapat melindungi PRT secara ekonomi, hukum, fisik dan lain sebagainya.
RUU PPRT mempunyai fokus terhadap beberapa hal, yakni Pengakuan PRT sebagai pekerja formal bukan informal yang diakui negara.
Profesi sebagai asisten Rumah Tangga sering dipandang sebelah mata dan selama ini selalu dianggap bukan pekerjaan yang sesungguhnya. Sehingga pengakuan hukum atas pekerjaan ini bisa memberi dampak positif karena mereka akhirnya diakui oleh negara.
"Jadi PRT kerap dinggap sebagai pekerja rendahan dan sering disebut pembantu, stereotipe itu yang ingin kita ubah, kita ingin PRT juga diakui oleh negara sebagai pekerjaan layak," jelas Ari kepada bakabar.com, Jakarta, Senin (26/9).
Selanjutnya, dalam RUU PPRT ini juga menekankan pada hak-hak PRT sebagai pekerja. Selain fokus pada kekerasan fisik, seksual, kekerasan ekonomi juga menjadi penting.
Karena kekerasan ekonomi merupakan bentuk diskriminasi, contohnya jaminan sosial dan bantuan sosial yang tidak tersampaikan dengan benar dan baik.
Selain itu kerap terjadi kasus eksploitasi kerja terhadap PRT, dimana gaji yang diterima tidak sesuai dengan jam kerja yang dilakukan.
Penyebabnya, kembali kepada status PRT yang belum diakui negara sebagai pekerjaan formal.
"Intinya kekerasan ekonomi karena belum ada aturan yang konkrit antara PRT dan pemberi kerja, jadi antara pengakuan dan kekerasan ekonomi saling berhubungan,” ungkapnya.
Karena berbicara kekerasan yang lain, seperti kekerasan fisik, sudah ada aturan yang melindungi yaitu UUD ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Berbeda dengan aturan kekerasan ekonomi yang saat ini belum ada untuk PRT.
Ari mengatakan pemerintah sudah memberikan dukungan penuh dengan membentuk gugus tugas dengan melibatkan beberapa stakeholder.
Namun, tentu saja pengesahan RUU PPRT ini harus melalui persetujuan DPR. "Ini kan tahapannya kurang diagendakan di paripurna ya, jadi tinggal di paripurnakan menjadi usulan DPR, kalau itu sudah terjadi maka pemerintah sudah siap," tutup Ari.