bakabar.com, JAKARTA – Bagi generasi era 80 dan 90an pasti sudah tidak asing dengan pemutar musik seperti piringan hitam, kaset ataupun compact disk (CD). Sempat mengalami kemunduruan dalam eksistensinya, rupanya pemutar musik jadul ini kembali mengalami peningkatan peminat.
Pemilik Toko Vintage Adil menjelaskan saat ini pemutar musik seperti piringan hitam, kaset ataupun CD mulai bangkit lagi. Beberapa faktor yang mendasari kembali diminatinya pemutar musik itu adalah pengenalan dari orangtua dan kurang lengkapnya lagu yang berada di platform digital.
“Kadang mereka dengar lagunya dari Tiktok atau Instagram kemudian dicari di Youtube dan platform digital lainnya tidak ada, akhirnya untuk mendapatkan yang komplit, mereka kembali ke rilisan fisik,” ujarnya kepada bakabar.com di Blok M Square, Jakarta Selatan, Rabu (12/10).
Minat meningkat. Omzet melesat.
Peningkatan minat ini, yang membuat Adil mengalami kenaikan omzet dari penjualan rilisan fisik yang mencapai Rp10 juta dalam sebulan.
Dia menjelaskan untuk kisaran harga sangat bervariasi, hal itu dikarenakan penilaian untuk harga harus berdasarkan dengan kualitas produk.
Untuk penjualan harian, biasanya paling banyak keuntungan yang bisa didapatkan dalam sehari mencapai Rp500.000 sampai Rp1 juta. Sedangkan keuntungan minimal yang dapat diperoleh adalah Rp100.000.
Untuk kaset atau piringan hitam dengan kondisi yang kurang mulus dan berisi lagu dari penyanyi yang tergolong kurang terkenal bisa dihargai sekitar Rp20.000 sampai Rp50.000. Namun sebaliknya untuk kaset dan piringan hitam dengan kualitas bagus harga berkisar ratusan ribu rupiah.
“Yang paling mahal dan sekarang ada ya biasa sekitar ratusan ribu, itu terakhir albumnya Dewa 19,” ungkapnya.
Kaset produk rilisan fisik paling diminati
Dari ketiga jenis rilisan fisik, kaset menjadi produk yang paling banyak dicari oleh konsumen. Hal itu karena CD dinilai lebih rentan untuk mengalami kerusakan seperti goresan yang dapat menyebabkan lagu menjadi terpotong potong.
Sedangkan harga CD juga jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan kaset, dan kemudahan dalam mencari album lengkap dalam bentuk kaset.
Sedangkan kaset memiliki keunggulan yang tidak dimiliki CD yaitu semakin sering diputar maka kotorannya semakin sedikit yang menyebabkan suara yang dihasilkan semakin bagus. Hal itu juga yang menyebabkan banyak dari kaset dari tahun 80-an yang masih dapat di putar dengan layak.
“Kalau CD ditaruh sembarangan kemudian baret, biarpun beli sekarang dan sore sudah baret, sudah tidak bisa disetel,” jelasnya.
Adil mengatakan produk rilisan fisik yang dijual di tempatnya sekarang terdiri dari produk bekas dan produk lama yang masih tersegel. Sedangkan untuk produk baru sangat jarang ada, dikarenakan hanya band aliran indie saja yang sering menggunakan kaset ataupun CD.
Kalaupun dari label musik mengeluarkan rilisan fisik, biasanya dalam jumlah yang lebih terbatas, hanya sekitar 100 sampai 200 buah saja.
Selain berjualan secara offline dengan membuka Store Vintage di Blok M Square lantai basement blok B no 191, dirinya juga melakukan penjualan secara online. Adil memanfaatkan media sosial Instagram dan Facebook sedangkan untuk Marketplace menggunakan Tokopedia untuk mendongkrak penjualan.
“Masih lebih laku penjualan secara toko dibandingkan dengan online, karena produk yang kurang familiar masih bisa terjual,” paparnya.
Unggul di kualitas suara
Salah seorang pengunjung toko bernama Naufal juga mengungkapkan bahwa dirinya sudah beberapa kali berbelanja di toko itu. Menurutnya walupun produknya bekas namun masih memiliki kualitas suara masih sangat baik.
Pembelian termahal yang pernah dilakukan adalah kaset dari band Pink Floyd dengan kisaran harga Rp300.000. Sedangkan membeli rilis fisik dari band yang kecil dan kurang terkenal maka harganya semakin murah.
Menurutnya ketertarikan mendengarkan musik menggunakan pemutar lama adalah karena pengaruh dari orangtuanya. Selain itu, menurutnya untuk kualitas suara, jika dibandingkan dengan online, yang dihasilkan oleh CD jauh lebih bagus.
“Menurut saya alat pemutar musik ataupun lagu lama tidak termakan zaman. Masih banyak orang yang mau beli entah anak muda kepingin coba hal lama atau orangtua kepingin nostalgia,” tutupnya.