Serba-serbi Ramadan

Deru Bagarakan Sahur Terakbar, Lintas Sejarah Islam di Tanah Banjar

Bagarakan sahur memang sudah mengakar dalam kehidupan warga Banjar. Kendati begitu, tak ada catatan sejarah yang menyebut kapan tradisi ini bermula

Featured-Image
Jalan A Yani Martapura, Kabupaten Banjar dipenuhi warga bagarakan sahur malam 20 Ramadan 1444 H, Selasa (11/4). Foto-apahabar.com/Hendra Lianor

bakabar.com, JAKARTA – Lautan manusia memadati jalan di seberang Ponpes Darussalam Martapura, Selasa (11/4) dini hari, sampai 500 meter ke depan. Massa yang didominasi remaja itu berkumpul untuk melakukan bagarakan sahur.

Bagarakan sahur adalah tradisi masyarakat Banjar membangunkan umat Islam untuk makan dini hari sebelum puasa. Dalam pelaksanaannya, mereka menggunakan berbagai alat musik, entah itu tabuh maupun elektronik.

Kegiatan pada dini hari tadi merupakan perhelatan puncak sekaligus penutup, mengingat warga mulai fokus beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan. Euforia yang demikian bisa kembali dirasakan di bulan suci selanjutnya.

Bagarakan sahur memang sudah mengakar dalam kehidupan warga Banjar. Kendati begitu, Dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, mengatakan tak ada sumber tertulis yang memastikan sejak kapan tradisi itu berlangsung.

Baca Juga: Tradisi Bagarakan Sahur di Martapura, Diklaim Terbesar di Nusantara

“Kami belum menemukan catatan sejarah yang menuliskan awal mula tradisi bagarakan sahur. Namun, sumber-sumber lisan mengatakan tradisi ini sudah ada sejak masuknya Islam di tanah Banjar,” ujarnya kepada bakabar.com, Selasa (11/4).

Dengan kata lain, bagarakan sahur diduga sudah eksis sejak abad ke-16. Masyarakat zaman dulu pun tidak mengenal tradisi ini sebagai bagarakan sahur, melainkan menamainya dengan badadamaran.

Kegiatan yang dilakukan dalam tradisi bagarakan sahur dengan badadamaran juga tidaklah sama. Dulu, orang Banjar hanya menyalakan obor – berbahan bakar getah kayu damar – di depan rumahnya.

Memasuki abad ke-20, badadamaran mulai jarang dilakukan karena listrik sudah bisa menerangi seisi wilayah Banjarmasin. Ditambah lagi adanya akulturasi budaya, tradisi menyalakan obor mulai tergantikan dengan bagarakan sahur.

Bagarakan Sahur Dulu dan Kini

Bagarakan sahur di masa lampau dan kini, kata Mansyur, juga tidak sepenuhnya sama. Salah satu perbedaan mencolok, yakni terlihat dari alat yang digunakan untuk membangunkan sahur.

“Kadang ada yang menggunakan besi, seperti alat pertanian atau linggis. Ada juga yang memakai alat-alat dari bambu,” ungkapnya.

Alat-alat yang demikian masih terus digunakan hingga era antara 1960-an dan 1970-an. Kala itu, masyarakat Banjar mulai menggunakan instrumen musik, seperti seruling, gendang, gong, bahkan dilengkapi dengan pengeras suara.

Baca Juga: Deru Bagarakan Sahur Terakbar, Lintas Sejarah Islam di Tanah Banjar

Mereka mengalunkan alat musik itu sesuai irama khas lagu-lagu Banjar. Malahan, tak sedikit warga yang menciptakan syair sendiri untuk dilantunkan saat bagarakan sahur. Syair itu pun berisikan hal-hal yang relevan dengan kegiatan selama Ramadan.

Sayang, hal-hal yang demikian mulai memudar dalam tradisi bagarakan sahur kekinian. Sekarang, orang Banjar, khususnya anak muda, lebih memilih menggunakan lagu-lagu bernuansa pesta.

“Kalau sekarang (membangunkan orang sahur) pakai musik remix, seperti orang ke diskotik. Itu sebenarnya tidak layak ditampilkan,” kata Mansyur menyayangkan.

Tak Cuma Ada di Banjarmasin

Bagarakan sahur sejatinya tak hanya mendarah daging di masyarakat Banjarmasin. Mansyur menyebut tradisi ini juga melanggeng di Kalimantan Timur, mengingat memang banyak orang Banjar yang bermigrasi ke sana.

“Kurang lebih sama (kegiatannya). Orang Kaltim juga menamakannya bagarakan sahur, karena pergaulan di sana masih menggunakan campuran bahasa Banjar,” jelasnya.

Mansyur menilai tradisi serupa, sebenarnya, tak cuma eksis di Tanah Borneo. Kebiasaan untuk membangunkan sahur, sejatinya, melanggeng di setiap daerah tempat umat Muslim bermukim.

“Meski istilahnya berbeda, saya yakin di setiap daerah itu kegiatannya sama (membangunkan orang sahur),” tandas Mansyur.

Editor


Komentar
Banner
Banner