WNI Gabung ISIS

Densus 88 Ungkap Seribu WNI Gabung ISIS karena Pengaruh Medsos

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terus berupaya membendung aksi teror dengan membunuh sel-sel yang melahirkan perilaku dan aksi terorisme.

Featured-Image
Densus 88 terlibat kontak senjata dengan teroris di Lampung.Foto: Warta Kota.

bakabar.com, JAKARTA - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terus berupaya membendung aksi teror dengan membunuh sel-sel yang melahirkan perilaku dan aksi terorisme.

Berdasarkan data yang dimiliki Densus 88, jumlah masyarakat Indonesia yang pergi ke luar negeri menjadi simpatisan ISIS mencapai 1.000 orang. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Kepala Densus 88 AT Polri Irjen Marthinus Hukom menyebut ribuan warga itu terpengaruh dan akhrinya mengikuti ISIS karena pengaruh yang kuat dari media sosial.

"Ketika media sosial mengalami perkembangan yang sangat luar biasa, hanya dalam kurun waktu kurang lebih 3 sampai 5 tahun, lebih dari 1.000 orang warga kita yang pergi ke ISIS," ucap Marthinus dalam dialog Strategi Pencegahan Terorisme dan Radikalisme, Kamis (24/8).

Baca Juga: 3 Polisi Penjual Senjata Ilegal Mesti Dijerat UU Terorisme dan Dipecat

Marthinus menyebut media sosial berperan sangat besar dalam mempengaruhi penyebaran paham-paham radikal dan terorisme di masyarakat.

Perkembangan jaringan teror baik di Indonesia maupun luar negeri meningkat secara signifikan akibat kemajuan teknologi dalam beberapa waktu terakhir.

Marthinus mencontohkan, selama periode tahun 1980-2000, penyebaran paham radikal serta terorisme di masyarakat masih terbatas. Kala itu, peran media sosial belum terasa.

"Contohnya fenomena Al Jamaah Al Islamiyah dan Al Qaeda di Afganistan. Selama 20 tahun hampir 30 tahun hanya menyerap simpatisan dari Indonesia tidak lebih dari 300 orang," tuturnya.

Baca Juga: Erick Thohir Desak Polri Basmi Terorisme di Tubuh BUMN

Pengaruh radikalisme dan terorisme saat itu masih tergolong rendah karena penyebarannya masih dilakukan secara konvensional melalui pengajian, buku, hingga pamflet semata.

Kondisi itu jauh berbanding terbalik dengan periode pasca Tahun 2010 ketika era digital dan media sosial sudah berkembang aktif.

Editor


Komentar
Banner
Banner