bakabar.com, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan compact city atau kota kompak menjadi paradigma penting dalam pembangunan dan pembiayaan sebuah kota.
"Pembangunan sebuah kota harus dipandang sebagai potensi sumber pembiayaan bagi kota itu sendiri, serta perlu menggunakan paradigma compact city yang memungkinkan adanya cross-subsidy pembiayaan," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna dalam seminar daring National Urban Forum yang diikuti di Jakarta, Kamis (3/8).
Herry mencontohkan pembangunan jaringan yang berdampak pada pembangunan kawasan yang pada akhirnya akan melayani permintaan dari kebutuhan masyarakat perkotaan.
"Saya sering menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur dan pembangunan perkotaan selayaknya dibangun oleh infrastruktur ataupun perkotaan itu sendiri. Membangun infrastruktur itu seperti membangun harapan dengan harapan, karena infrastrukturnya sendiri belum tersedia tetapi kita bagaimana membangunnya dengan sumber daya yang akan tercipta oleh infrastruktur itu sendiri," terangnya.
Baca Juga: Pembangunan Ibu Kota Baru, Indonesia Ingin Belajar dari Korsel
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di dunia, sebanyak 56,7 persen jumlah penduduk tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2020 serta akan mengalami kecenderungan peningkatan sekitar 72,8 persen pada tahun 2045.
Tingginya tingkat urbanisasi dan jumlah penduduk di kota-kota besar Indonesia berdampak pada terlampauinya daya dukung lingkungan yang mengakibatkan banyak permasalahan di perkotaan, antara lain meningkatnya masalah sosial, meningkatnya jumlah permukiman kumuh akibat kurangnya ketersediaan perumahan terjangkau, menurunnya kualitas lingkungan, meningkatnya produksi emisi gas rumah kaca, dan meningkatnya tingkat kerentanan terhadap bencana alam.
Untuk memastikan kota dapat memberikan peluang dan kehidupan lebih baik ke depannya, penting untuk memastikan inklusivitas pada tiga pilar yakni spatial inclusion, economic inclusion, dan social inclusion.
Perkotaan yang inklusif membutuhkan penyediaan perumahan, air dan sanitasi yang terjangkau. Dalam hal sosial inclusion, kota yang inklusif menjamin persamaan hak dan partisipasi masyarakat, serta economic inclusion berarti kota yang inklusif menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan bagi masyarakat untuk merasakan manfaat daripada pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: PUPR Bangun Rusun Majelis Pekerja Harian di Maluku, Tampung 128 Orang
Dalam rangka mewujudkan kota yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan pada tahun 2030 maka Kementerian PUPR terus berkomitmen untuk target Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam praktiknya saat ini pembangunan perkotaan masih berbasis satuan proyek infrastruktur yang dibangun secara parsial dan belum mempertimbangkan proyeksi demand penduduk pada masa mendatang.
"Untuk menjawab tantangan pembangunan dan pembiayaan perkotaan berkelanjutan serta inklusif, maka perencanaan pembangunan perkotaan harus dikemas secara terpadu dengan sumber, skema, dan instrumen pembiayaannya," kata Herry.