Ramadan menjadi momentum paling 'berasa' di perantauan. Terlebih bagi mereka yang berpuasa di negeri orang. Mereka benar-benar merasakan apa yang disebut dalam pepatah, "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri."
Ahmad Zainal Muttaqin, LONDON
Seluruh umat Islam di dunia mulai melaksanakan ibadah puasa pada Ramadan 1440 H. Tak terkecuali di London, Inggris.
Beberapa waktu lalu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Inggris Raya sudah menyampaikan kepada warganya bahwa Ramadan kali ini jatuh pada 6 Mei 2019.
Hal ini pun disambut gembira oleh warga Indonesia yang bermukim di sana. Salah satunya Urang Banua, Yulida A Withers.
Wanita kelahiran Banjarmasin 21 Juli 1982 ini, kini tinggal bersama suaminya Neil Withers.
Sudah lima tahun ia bersama Niel menjalani hidup bersama. Keduanya tinggal di Great Offley, Hitchin United Kingdom atau 40 menit dari Kota London, ibu kota Inggris.
Dari pernikahannya, telah lahir seorang putra yang diberi nama Alif Rahmat. Sebuah nama unik bagi orang Eropa, tapi sangat familiar di Indonesia.
Menurut Yulida perbedaan waktu Banjarmasin dengan London terpaut 7 jam lebih.
Sehingga ketika bakabar.com melakukan komunikasi dengannya Minggu (05/05/2019) pukul 18.00 Wita, Yulida baru selesai sarapan pagi.
Meski aktivitasnya hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi kehidupannya di sana sudah terjadwal.
Jadilah waktu wawancaranya baru bisa dilakukan jelang waktu salat Magrib di sini.
Pada kesempatan ini Yulida begitu antusias. Begitu mendengar dari Banjarmasin, kerinduannya akan suasana Ramadan di Banua pun membuncah.
Baca Juga: Peziarah Ramai Jelang Ramadan, Petugas Ketiban Untung
“Baru balik ke Banjar Januari kemarin, 3 Minggu,” ujarnya, sesaat setelah membuka obrolan dengan bakabar.com.
Tinggal di negara orang jauh dari keluarga inti dan teman-teman, katanya, pasti ada plus-minusnya.
“Pertama kali di bawa ke sini sebulan berasa gak betah,” katanya.
Selain perbedaan bahasa, adat istiadat, makanan dan banyak hal lainnya yang membuatnya gelisah ingin cepat pulang.
“Setelah dijalanin by the time, akhirnya jadi salah satu kebiasaan. Yang biasanya ga banyak tahu soal adat istiadat di sini jadi banyak tau,” ungkapnya.
Menurutnya bulan Ramadan adalah momentum paling berasa untuk semua warga muslim yang merantau di negara orang.
“Pasti kita sangat jarang dengar suara adzan. Kecuali seperti saya (terpaksa) melalui telepon genggam (pertanda) bedug Magrib buat buka puasa, selain mengandalkan jam,” terang Yulida.
Menjalani ibadah puasa di sana, butuh perjuangan ekstra. Karena puasa di sana sangat panjang, yakni 18,5 jam.
Disamping itu, Ramadan bertepatan dengan musim panas. Sehingga begitu terasa hausnya.
“Kalau lapar sih gak ya mas, tapi hausnya yang gak kuat. Malahan pertama kali puasa di sini banyak bolongnya. Gak seperti kita di Indonesia, di sini semua toko makanan dan restauran buka seperti biasa. Jadi memang menguji kesabaran,” selorohnya.
Untungnya seiring berjalan waktu, Yulida semakin terbiasa. Dan ia bisa menjalankan puasa dengan lancar beserta keluarga.
Hanya saja untuk melaksanakan salat sunah tarawih berjemaah, Yulida tidak bisa melakukannya di sana.
Selain masjidnya jauh dari rumah, juga jarang ada orang yang tarawih di masjid.
Orang muslim Asia, seperti India dan Pakistan lebih memilih beribadah di rumah masing-masing dengan keluarga.
Lantas, bagaimana respon warga London terhadap muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa di sana?
“Warga asing di sini untuk Ramadan sangat baik. Beberapa toko besar di Londonmenempelkan tulisan kecil ‘Ramadhan Kareem’ untuk menghargai warga muslim. Karena kan di London juga umat muslimnya sangat banyak ya. Bahagia melihatnya,” cerita Yulida.
Baca Juga: Sambut Ramadan; Marbut Masjid Raya Sabilal Muhtadin Dituntut Bekerja Ekstra
Satu hal yang membuat rindu bungsu tiga bersaudara ini yakni suasana Ramadan di Banua.
Sudah lima tahun ini ia merindukan salat tarawih bersama keluarga di Banjarmasin.
Selain itu suara begarakan sahur dan ngabuburit sambil hunting makanan kesukaan.
“Yang paling dirindukan adalah keluarga dan makananan Banjar yang nyaman-nyaman,” kata Yulida sembari menunjukkan foto nasi sop yang ia bikin sendiri di sana.
Tapi semuanya ia kembalikan lagi, karena hidup ini adalah pilihan. Ia pun ikhlas menjalani hidup di sana seperti para perantau lainnya. Belajar mandiri dan lebih menghargai orang lain. Karena saat tinggal di rumah, ia terbiasa dibantu asisten rumah tangga.
“Soalnya kalau di sini bayar pembantu mahal. Per jamnya £7.50 (sekitar Rp118.500). Intinya sih keluar dari zona nyaman, mengajarkan kita gak malas dan menghargai waktu.
Untungnya ketika ia rindu keluarga di Banjarmasin, masih bisa berkomunikasi melalui video call whatsapp.
Sebagai perantau mengikuti sang suami yang bekerja sebagai grafic designer di Head Office Mothercare, Yulida baru sekali melaksanakan salat ied di KBRI London.
“Itu juga kalau suami pas lagi libur ya. Karena di sini lebaran suami tetap kerja,” kata wanita yang orang tuanya tinggal di Komplek Es Terang, Jl Sutoyo S, Banjarmasin ini.
Untuk zakat fitrah sendiri, Yulida bisa melakukannya via online, karena di sana memang begitu. Tapi, ia lebih senang mengeluarkannya ke Banjarmasin.
“Karena saya pikir masih banyak warga Banua yang perlu dibantu,” pungkas putri dari Suriansyah Yusuf ini.
Baca Juga: Jelang Ramadan, Makam Abah Guru Sekumpul Ramai Peziarah
Editor: Muhammad Bulkini