bakabar.com, JAKARTA – Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) menjadi salah satu proyek pembangunan terbesar yang digagas pemerintah, bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi kotor batu bara.
Presiden Jokowi sempat menyampaikan rencana untuk mempensiunkan seluruh PLTU batu bara pada tahun 2025 saat momen pembukaan Hannover Messe di Jerman pada pertengahan April 2023. Pihak istana kemudian merevisi target tersebut menjadi tahun 2050.
Proyek KIHI rencananya akan berlokasi di tiga desa yakni Tanah Kuning, Mangkupadi dan Binai yang terletak di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Kawasan tersebut akan diubah dari kawasan industri hilir dan pelabuhan industri menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Zona Biru
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Atinna Rizqiana mengungkapkan terdapat sejumlah kontroversi dalam pengembangan proyek KIHI.
Baca Juga: Celios Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Soal Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Kontroversi pertama terlihat dari pembagian area zona biru sebagai kawasan yang disokong oleh pembangkit batu bara seluas 3.910,41 Ha. Kemudian green zone atau zona Hijau yang diperuntukan sabagai wilayah industri hijau hanya memiliki luas 2.196,56 Ha.
“Dari pembagian wilayah tersebut terlihat perbedaan wilayah batu bara memiliki luas lebih dari zona hijau,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima bakabar.com, Kamis (27/4).
Dua pemain besar
Di kawasan KIHI terdapat perusahaan swasta yang bergerak di sektor pertambangan batu bara yang juga pemain utama dari proyek smelter aluminium senilai USD728 juta.
Sementara perusahaan China Tshingshan diberitakan siap mengeluarkan dana USD28 miliar untuk pembangunan smelter nikel.
Baca Juga: Bursa Karbon Dikelola BEI, Celios Khawatirkan Efektivitasnya
“Kedua perusahaan ini tidak luput dari kontroversi. Perusahaan tersebut selama ini memiliki reputasi yang buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup,” terang Atinna.
Target tidak realistis
Pada pernyataannya di Jerman, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pada tahun 2023 jumlah energi terbarukan di Indonesia berada di titik 23%. Angka itu merujuk pada target bauran energi ‘baru’ terbarukan (EBT) di tahun 2025.
“Kenyataannya, pada tahun 2023 bauran EBT tercatat baru mencapai 13 persen atau hanya naik 1,5 persen dari jumlah bauran energi terbarukan dua tahun sebelumnya, tahun 2021, yakni 11,5 persen,” jelasnya.
Celios mempertanyakan apakah masuk akal bisa mengejar sisa peningkatan sebesar 10 persen untuk target EBT pada dua tahun ke depan.
Baca Juga: Indonesia Dukung Dedolarisasi, Celios: Menghambat Aktivitas Ekspor
Bangun PLTU
Selain target bauran EBT yang tidak sinkron dengan kondisi ideal, upaya untuk melakukan penutupan total PLTU juga dipertanyakan Celios. Pertanyaan muncul karena Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 memperlihatkan PLN masih menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 GW.
Sementara itu, terdapat beberapa kawasan PLTU yang akan dibangun secara serentak di berbagai wilayah smelter nikel dan aluminium seperti di Morowali, Weda Bay, hingga Kalimantan Utara. Hal itu menjadi pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah terhadap pembangunan industri hijau.
“Bagaimana mungkin pengembangan ekonomi hijau yang katanya berkeadilan, dilakukan dengan mempertaruhkan kelestarian lingkungan dan masyarakat disekitar proyek?” tutupnya.