bakabar.com, BANJARMASIN - Tiga pekan berlalu, jalan nasional kilometer 171 di wilayah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang longsor ke lubang tambang batu bara belum rampung diperbaiki. Bahkan, kondisi jalan tersebut makin parah.
“Kalau badan jalan sekitar semeter atau dua meter lagi. Jadi kita pinjam tanah masyarakat di sana. Makanya angkutan berat kita larang,” kata Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalsel, Syauqi Kamal, Kamis (13/10).
Dalam jangka pendek, kata Syauqi, pihaknya tengah berkonsentrasi memperkuat tebing jalan yang sebelumnya longsor. Hal itu dilakukan agar tak ada lagi longsor susulan.
BPJN Kalsel bekerja sama dengan salah satu perusahaan tambang di sana membuat semacam pondasi dan cerucuk agar tanah tak bergerak.
Sedangkan untuk jangka permanen, pihaknya sedang menakar kekuatan titik-titik lahan yang layak menopang mobilitas secara berkelanjutan.
"Kita fokus untuk melakukan perbaikan sementara agar segera bisa dilewati," ujarnya.
Jika diingat-ingat kembali, jalan yang longsor itu bukan karena faktor alam. Menurut Syauqi peristiwa itu akibat perubahan lingkungan di sisi jalan nasional. Sedangkan dari BPBD Tanah Bumbu setempat menyebutkan karena kondisi jalan yang tidak stabil, sehingga tidak kuat menopang hilir mudik kendaraan.
Namun alasan berbeda diungkapkan Wahana Linkungan Hidup Indonesia (Walhi), jika dilihat dari citra satelit; Jarak area longsor dengan galian terbengkalai hanya di kisaran 19 meter. Lalu, jarak lubang tambang dengan pemukiman penduduk 42 meter, sedangkan dengan aktivitas galian aktif 183 meter.
Dilihat sedikit lebih luas melalui citra setelit, jalan nasional yang sudah ada lebih dulu di Kecamatan Satui itu, kini dikepung lubang tambang. Kondisi lingkungan itu-lah yang mempersulit BPJN Kalsel membuat jalur alternatif.
Walhi menilai, longsor itu disebabkan maraknya aktivitas pertambangan. Pernyataan tersebut pun diamini oleh masyarakat sekitar kejadian.
Jika ditarik ke atas meja, persoalan ini diawali dari pemberi izin yang asal. pemerintah terlalu berkompromi dengan korporasi sehingga dampaknya harus dirasakan masyarakat.
Wajar saja penilaian itu ada apabila mengacu pada dasar hukum, misalnya dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara. Tertulis bahwa jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan pemukiman warga ataupun fasilitas umum idealnya 500 meter.
"Carut marut pertambangan ini harusnya dapat ditindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana," kata Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono di Banjarbaru saat dikonfirmasi melalui seluler, Kamis (13/10).