Bagi warga Kota Banjarmasin, tentunya tidak asing lagi dengan nama Kampung Sungai Jingah. Sayangnya, hanya segelintir yang tahu kisah kampung tua di tepi Sungai Martapura ini.
Oleh Mansyur, S.Pd, M.Hum
Bahkan, letak kampung pun masih banyak yang ragu ragu. Dimana letak pastinya. Padahal, kampung tua nan eksotik ini hanya terletak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Banjarmasin. Tepatnya di Kecamatan Banjarmasin Utara.
Wajar memang karena seakan akan Kampung Sungai Jingah "kalah pamor" dengan kampung sebelah, Surgi Mufti. Sekarang secara administratif, menjadi Kelurahan Sungai Jingah dan Kelurahan Surgi Mufti. Kawasan kelurahan yang dicirikan pola pemukiman linier di bantaran Sungai Martapura matan bahari (sejak zaman dulu).
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur yang mengutip pendapat sejarawan Kalimantan Selatan, Wajidi, Sungai jingah sejak Masa Hindia Belanda adalah kawasan perkampungan dengan wilayah lumayan luas. Bisa dibayangkan wilayahnya membentang mulai Kampung Teluk Masjid (bekas lokasi masjid Jami) sampai kampung Kenanga (lokasi Museum Wasaka sekarang).
"Karena itulah, kampung-kampung yang ada sekarang, seperti kampung Teluk Masjid, Teluk Kubur, Kubah Surgi Mufti, hingga Kampung Kenanga secara administratif berada di kawasan Kelurahan Sungai Jingah,” ucapnya kepada bakabar.com, Minggu (24/2/2019).
Sayangnya, kata Mansur, masih mengutip pendapat Wajidi, kini penyebutan wilayah Sungai Jingah mulai menyempit. Wilayah kampung ini hanya mencakup kawasan kampung di sepanjang jalan Sungai Jingah. Apalagi kawasan Jalan Sungai Jingah kini juga terbagi atas 2 kelurahan yaitu, kelurahan Sungai Jingah dan Kelurahan Surgi Mufti.
Kampung Sungai Jingah yang menjadi bagian dari Kelurahan Surgi Mufti disebut Kampung Surgi Mufti. Kemudian, Kampung Sungai Jingah yang menjadi bagian Kelurahan Sungai Jingah dan disebut sebagai kampung yang dimaksud itu pula. Tapal batas dua kelurahan itu adalah batas alam yakni sungai kecil (handil) Sungai Jingah.
Dari mana asal kata Sungai Jingah? Masih mengutip Wajidi, ia menuliskan nama Kampung Sungai Jingah berasal dari nama sungai kecil bernama Sungai Jingah tadi. Sungai ini merupakan sebuah handil atau yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir/Antasan.
Sungai Jingah mengalir menuju Sungai Andai dan bermuara di Sungai Pangeran. Penamaan Sungai Jingah kemungkinannya adalah bahwa dahulunya di sepanjang sungai kecil ini terdapat banyak pohon Jingah. Jingah adalah vegetasi khas tanaman rawa di Banjarmasin dan sekitarnya.
Kata Mansyur, Wajidi juga memaparkan, pada kawasan ini dahulunya berdomisili beberapa saudagar kaya. Satu di antaranya salah satunya adalah H. Muhammad Said Nafis. Rumah beliau di sungai Jingah berada dekat Kubah Surgi Mufti. Tepatnya di arah sisi barat kubah tersebut. Namun sayangnya, satu di antara rumah beliau berarsitektur Eropa sudah dirobohkan ahli warisnya.
Muhammad Said Nafis mempunyai armada kapal dan beraktivitas melakukan perdagangan antar pulau. Komoditas utama yang diperdagangkan adalah tembakau (timbako). Muhammad Said Nafis juga mempunyai rumah di Ampenan Pulau Lombok, dan dikenal sebagai saudagar yang paling kaya di sana.
Ditinjau dari kurun waktu pembangunan rumah-rumah yang ada di kawasan ini dibangun sekitar awal hingga pertengahan Abad 19. Bangunan arsitektur rumah panggung dengan bahan bangunan didominasi kayu.
Lalu lintas jalur sungai dan pelayaran antar daerah hingga saat ini masih bisa dilakukan, hanya saja perahu tertentu karena konstruksi ketinggian jembatan yang kadang kurang mendukung atau terlalu rendah sehingga menghalangi lalu lintas perahu besar yang melintas khususnya di saat air sungai naik.
Kampung Sungai Jingah, tertulis dalam register Pemerintah Hindia Belanda tentang kampung-kampung yang terletak di sepanjang Sungai Martapura ke Sungai Barito. Khususnya di wilayah Bandjermasin dan Ommelanden.
Pendataan ini dilakukan .G. Stemler pada akhir bulan Desember 1886 dan dibukukan dalam titel Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie, volume 22, tahun 1893. Nama Kampung Sungai Jingah ditulis dengan Soengei Djinga.
Kemudian dalam laporan South Coast Of Kalimantan From Tanjung Puting To Selat Laut, Sailing Directions for Celebes, Southeast Borneo, Java (except from Java Head to Batavia), and Islands East of Java yang dirilis Hydrographic Office, 1935, juga memberikan beberapa informasi tentang Sungai Jingah.
Pada laporan yang diterbitkan tahun 1935 tersebut, dituliskan bahwa telah dibangun suar (lampu petunjuk) untuk kapal kapal yang berlayar di Sungai Martapura. Satu diantara lokasi pembangunan suar tersebut adalah di pintu masuk (muara) Sungai Djinga. Suar ini diletakkan di plat logam/besi setinggi 5 meter, berdiri di sisi sungai, 3 mil dari Tanjung Telan.
“Bahkan dituliskan terdapat sebuah rumah Banjar berwarna putih yang didirikan di tepi sungai, di sekitar muara Sungai Jingah Besar,” katanya.
Sementara Dalam peta Hindia Belanda, tahun 1916, nama sungai Jingah ditulis dengan Soengai Djinga. Pada wilayah sekitar kampung Sungai Jingah terdapat kampung bernama Kampung "Djuragan Koesin". Penduduk setempat, Irham, mengakui memang pada lokasi yang berdekatan dengan simpang tiga sungai jingah terdapat sungai kecil.
Masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Sungai "Juragan Kusin". Kondisinya saat ini sungai tersebut hampir "sekarat" dan akan menjadi sungai "mati" karena kondisinya surut. Kemudian pada bagian tepi, bahkan sampai ke tengah sungai banyak dijadikan perumahan penduduk.
Seperti dilansir sebelumnya, diperkirakan, penamaan kampung ini karena dahulunya di tempat tersebut, berdomisili beberapa saudagar kaya dengan rumah-rumah besar dan mewah. Satu diantaranya, saudagar H. Muhammad Said Nafis. Menurut penduduk setempat, Irham, nama saudagar H. Muhammad Said Nafis, biasanya dipanggil Thaib Nafis.
Rumah Nafis bertipe rumah panggung tingginya sekitar satu meter, terbuat dari bahan ulin. Sebagai orang kaya, Nafis memiliki banyak peralatan memasak yang berukuran besar seperti bogol (tempat memasak daging) dan ceper dari bahan kuningan. Karena itulah, ketika masyarakat kampung yang punya hajat menikahkan anak, biasanya pinjam ke beliau.
Kemudian di Sungai Jingah juga terdapat dok tempat pembuatan kapal sungai telah lama menjadi tradisi rakyat. Dok kapal tersebut milik Haji Kutui untuk kapal kapal sungai ukuran sedang. Sementara untuk dok-dok besar untuk kapal ukuran sedikit besar, adalah dok B.I.M. dan dok de Jong di Kuin Cerucuk.
Menariknya, kampung sungai jingah juga mendapat sebutan kampung Qadi. Terdapat beberapa tokoh masyarakat di sungai jingah yang pernah menjabat sebagai Qadi. Di antaranya H. Busra Kasim dan H. Asnawi. Para Qadi ini melaksanakan aktivitasnya di bagian depan Masjid Jami Sungai Jingah.
Reporter: Muhammad RobbyEditor: Aprianoor