Hidup Perempuan Balik
Sosok utama di balik Bolum Bawe Balik adalah Syamsiah. Dia juga tinggal di Sepaku Lama, berjarak sekitar 300 meter dari rumah Becce. Dalam satu tahun terakhir, ia sibuk mengorganisir gerakan dibantu suaminya Pandi, dan puluhan tetua masyarakat adat Balik yang tinggal di kampung tersebut.
Saya menemui Syamsiah ketika ia baru saja beres melayani wawancara jurnalis asing pada awal Maret 2023. "Hampir setiap hari, selalu ada wartawan yang datang wawancara," ujar perempuan 49 tahun itu.
Air muka Syamsiah menunjukkan kesedihan yang mendalam. Bukan tanpa alasan, saban hari, ia was-was terusir dari rumahnya karena proyek IKN Nusantara.
Kediaman Syamsiah dan puluhan warga Sepaku Lama lain masuk dalam wilayah kerja Proyek Penanganan Banjir atau Normalisasi Sungai Sepaku. Proyek Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV dan Kementerian PUPR ini yang bernilai 242 miliar rupiah dan dijalankan oleh kontraktor PT Abipraya dan Prima KSO sejak awal 2023.
Proyek penanganan banjir atau normalisasi sungai ini terhubung dengan Intake Sungai Sepaku yang sebelumnya juga sudah mengorbankan sebagian ruang hidup masyarakat di Sepaku.
"Rasanya, seperti mau dimatikan saja kita ini," cetusnya.
Meski belum ada instruksi untuk pindah, ia khawatir melihat patok yang diduga untuk proyek pengentasan banjir itu telah terpasak di beberapa lahan warga di Sepaku Lama.
"Setau saya, di mana ada bendungan, ndak ada kehidupan di sana," ungkapnya.
Mayoritas warga jelas keberatan dan memilih bertahan. Bagi mereka, nilai ganti rugi yang ditawarkan sangatlah kecil.
Rata-rata tanah di Sepaku Lama hanya berstatus segel, belum bersertifikat hak milik (SHM). Maka, warga dianggap berdiam di atas tanah milik negara. Oleh pemerintah, mereka hanya akan diberi ganti rugi senilai Rp250 ribu hingga Rp350 ribu/m² untuk tiap rumah atau lahannya yang terimbas proyek.
Dengan nominal tersebut, warga yang tergusur tentunya tak akan mampu membeli tanah di wilayah lain, untuk sekadar membangun tempat tinggal.
"Kalau punya tanah berhektare-hektare, ya ndak jadi masalah. Ini lho, cuma punya rumah kecil ini," keluhnya.
Syamsiah memang memiliki sedikit lahan untuk berkebun, namun, itu pun bersengketa, karena disebut masuk dalam lahan milik warga pendatang yang berstatus HGU.
Kendala masyarakat setempat untuk dapat pengakuan hukum atas tanahnya merupakan imbas dari adanya aturan larangan penerbitan sertifikat maupun pelepasan hak tanah. Aturan itu diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur semenjak proyek IKN Nusantara berjalan.
Dijalankannya regulasi ini diklaim sebagai bentuk upaya pemerintah, demi mengantisipasi terjadinya perkara penyerobotan tanah yang marak ketika IKN Nusantara mulai dicanangkan. Tapi, hal ini juga yang justru menghambat masyarakat setempat untuk mendapat legalitas atas tanah mereka.
Kendati demikian, hal itu dinilai Syamsiah, hanya menjadi penguat dalih pemerintah. Karena, sebelum IKN Nusantara pun, warga Sepaku Lama telah mengajukan permintaan agar tanah mereka diterbitkan sertifikatnya, tapi tak kunjung ditanggapi. "Sepertinya memang pemerintah yang ndak mau tau keberadaan kita di sini," katanya.
Namun, jauh daripada itu, bukan saja soal taksiran harga tanah yang kecil, yang membuat Syamsiah masih gigih untuk bertahan. Sebagai seorang ibu, yang paling ditakutkannya jika tergusur adalah terpisah dari keluarga, khususnya enam anak dan empat cucunya.
"Kalau kami tergusur, terpecah sudah dengan keluarga, anak-cucu kami, karena masing-masing akan cari penghidupan. Saya menderita. Takut betul membayangkannya," ungkap Syamsiah yang kemudian tak mampu lagi membendung tangisnya.
Meski terlihat sebagai sosok perempuan yang begitu kuat, benteng pertahanan hati Syamsiah akan langsung runtuh ketika berbicara mengenai hal yang keluarga.
"Kami takut sekali diambil tanah kami. Di sini rumah kami, tempat turun-menurun kami, situs sejarah kami, kubur orang tua kami. Kalau kami pergi dari sini, itu semua situs sejarah dan kuburan orang tua pasti hancur. Pemerintah ndak akan mau tau," ujarnya dengan nada sedih.
"Saya pernah bilang sama bapaknya (suami) kalau warga lain tak mau bertahan, kita saja yang bertahan, kumpul anak sama cucu di sini. Jika ada alat berat, gusur sudah kita di sini, timbun sudah kami dengan rumah di sini. Tenggelamkan kami di sini, biar jadi sejarah," sambungnya lirih.
Langkah Syamsiah melakukan upaya penolakan penggusuran kampung halamannya didukung penuh oleh suaminya, Pandi. Pria berusia setengah abad ini jadi salah satu orang yang lantang bersuara menolak penggusuran.
"Saya tidak mau meninggalkan sejarah untuk anak-cucu, jika orang tua mereka jadi sampah di tanah sendiri," katanya.
Dengan alasan itu, Pandi akan tetap bertahan. Meski sebagian warga lain, ada yang sudah merelakan lahannya untuk kepentingan proyek.
Sedianya, menurut Pandi, keluarganya bukan menentang niat pembangunan yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Mereka hanya ingin mempertahankan hak. "Silahkan pekerjaan dilanjutkan, tapi jangan sentuh lahan kami," tegasnya.
Lahan yang dimaksud Pandi, bukan saja rumah dan tanah untuk berladang, tapi juga wilayah adat yang menjadi hak komunal Suku Balik.
Permintaan itu bersifat mutlak. Sebab, kata Pandi, hidup Suku Balik sangat bergantung erat terhadap kelestarian alam, khususnya hutan dan sungai.
Hutan dan sungai menjadi wadah untuk warga Suku Balik melakukan ragam aktifitas. Dari sisi ekonomi, sosial, bahkan budaya. Sehingga, hutan dan sungai pun menjadi ruang hidup bersama.
Kesimpulan sederhananya, semakin rusak kualitas dan hilangnya hutan, juga sungai, maka kian kritis pula kehidupan yang dijalankan oleh masyarakatnya.
"Kalau alamnya hancur, hancur juga manusianya," tukas Syamsiah menutup pembicaraan hari itu.
Baca di halaman selanjutnya...