bakabar.com, BANJARMASIN - Dr. Chairul Huda dihadirkan sebagai ahli dalam sidang Mardani H Maming (MHM) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, Kamis (22/12).
Chairul Huda adalah pakar hukum pidana sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Chairul Huda juga tercatat sebagai penasihat ahli Kapolri dalam hukum pidana. Selain itu, ia juga merupakan salah satu perumus tentang undangan-undang korupsi.
Hal yang paling menarik ketika Chairul Huda disodorkan sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum Maming, Habib Abdul Qodir.
Pertanyaan itu soal adanya keterangan yang diberikan saksi bukanlah berdasar dari apa yang dialaminya sendiri secara langsung, tetapi hanya mendengar dari orang lain.
"Menurut ahli itu bagaimana?" tanya Abdul Qodir kepada Chairul Huda.
Atas pertanyaan itu, penasihat ahli Kapolri dalam hukum pidana itu dengan lugas menjawab bahwa keterangan saksi tersebut tak memiliki nilai pembuktian sama sekali.
Dalam bahasa hukum, keterangan itu disebut Testimonium De Auditu.
"Keterangan semacam itu tak bisa mempunyai nilai pembuktian," ucap Chairul Huda dalam persidangan.
Usai persidangan, Chairul Huda menjelaskan, saksi hanya boleh memberikan keterangan sesuai apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
"Katanya-katanya itu tak bisa mempunyai nilai pembuktian dari keterangan saksi. Tidak boleh dia menceritakan tentang apa yang dilihat orang lain, dialami orang lain atau apa yang dilakukan orang lain. Jelas sekali di dalam Pasal 1 angka 27 KUHP itu disebutkan tiga kali kata sendiri," jelasnya.
Dari sederet saksi dihadirkan di persidangan, memang cenderung keterangan yang disampaikan hanya mendengar dari mendiang Henry Soetio.
Bahkan pada sidang terdahulu, Hakim Anggota Jamser Simanjuntak sempat membuat pernyataan menohok atas keterangan salah satu saksi bernama Haris.
Di mana saat itu, Haris hanya menyampaikan keterangan di persidangan dari cerita yang dia dengar dari Henry Soetio yang sudah meninggal dunia pada Juli 2021 lalu.
"Artinya kebenaran cerita anda hanya anda yang tahu dan juga Tuhan. Iya, karena kami tak bisa lagi konfirmasi ke Henry," ujar Jamser pada sidang tertanggal 17 November 2022 lalu.
Kembali ke penjelasan Chairul Huda, ia sempat menjelaskan soal tidak tepatnya pemasangan Pasal 18 soal uang pengganti yang disandingkan dengan Pasal 12 huruf b tentang gratifikasi.
Di mana, Chairul Huda memaparkan penggunaan Pasal 18 hanya bisa dilakukan jika ada unsur kerugikan keuangan negara seperti yang termaktub dalam Pasal 2 atau 3 UU Tipikor.
Diketahui, dalam perkara ini Jaksa KPK mendakwa Maming dengan dua pasal gratifikasi.
Pertama, Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 sebagai dakwaan primer.
Kedua, Pasal 11 jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Chairul Huda mengatakan, pemasangan juncto Pasal 18 pada Pasal 12 huruf b dan 11 tidaklah relevan.
Sebab Pasal 12 dan 11 tersebut merupakan pasal suap atau gratifikasi yang tidak terkait dengan ganti kerugian.
"Tentu korupsi yang menimbulkan kerugian saja yang relevan penerapan dengan ketentuan itu. Yaitu korupsi Pasal 2 dan Pasal 3. Kalau suap gratifikasi tidak terkait dengan ganti kerugian. Kalau ada hasilnya suap ya dirampas saja. Karena itu bukan kerugian," terangnya.
Lantas apakah Jaksa KPK salah pasang pasal?
Chairul Huda tak menyebutkan secara gamblang soal itu.
Ia hanya bilang bahwa Jaksa mestinya bisa lebih cermat dalam memahami setiap pasal tersebut.
"Itu pemahaman dia memahaminya pasal demi pasal secara sepenggal. Tidak memahami maksud dalam pembentuk undang-undang kenapa membikin pasal itu," pungkasnya.