Kekerasan Aparat

Bentrok Berkepanjangan, Muhammadiyah Desak PSN Rempang Eco-City Dicabut

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City di Batam yang berbuntut bentrokan segera dicabut karena bermasalah.

Featured-Image
Petugas pengamanan membentuk barikade untuk mendorong aksi massa unjuk rasa di sekitar Kantor BP Batam, Senin (11/9/2023). ANTARA/Yude

bakabar.com, JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City di Batam yang berbuntut bentrokan segera dicabut karena dianggap sangat bermasalah.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, menyebutkan payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN.

Namun proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang bakal terdampak.

"Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN," demikian pernyataan dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9).

LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah itu mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan investasi dan industri swasta.

Baca Juga: Mahfud MD Minta Aparat Cermat Usut Seteru Konflik Pulau Rempang

Menurutnya, dalam proses penggusuran itu dikerahkan kepolisian dan TNI menggunakan kekuatan secara berlebihan. Hal tersebut seperti yang terjadi pada 7 September lalu. Hal ini menunjukan sikap arogansi dan represif aparat.

"Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik" tuturnya.

Mereka heran karena pemerintah juga terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. Padahal tanah itu sudah dihuni turun temurun.

"Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar," tukasnya.

Baca Juga: Bentrok Kembali Pecah, Aparat Pukul Mundur Warga Pulau Rempang

LHKP dan MHH PP Muhammadiyah menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa 'tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap' sangat keliru. Faktanya masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.

"Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut".

LHKP dan MHH juga menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia.

Padahal dalam UUD 1945 disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Editor


Komentar
Banner
Banner