Suatu ketika, orang-orang mengolok-olok ulah Majnun, karena dia menolong seekor anjing di Sahara. Betapa bodohnya Majnun, kata mereka, dia sendiri belum tentu selamat, sempat-sempatnya menolong anjing yang hina.
Majnun pun berujar membela, "Jangan menghinanya, sungguh mataku pernah melihat dia lewat di Kampung Laila."
Oleh: Muhammad Bulkini
MEMBACA karya fiksi itu, saya teringat kejadian Anggota Banser yang kemarin membakar bendera salah satu organisasi atau bagi sebagian orang membakar "kalimat tauhid". Saya bukan termasuk orang yang menatap dengan kacamata penghakiman. Sebab bagaimana pun, mereka berhak ditatap dengan pandangan cinta.
Kok bisa?
Dulu, saya bermaksud bertamu ke ulama sepuh di pedalaman Martapura bersama seorang teman. Sewaktu di jalan, teman saya berujar, "Aduh gimana ya."
"Gimana apa maksudnya?" kataku.
"Ini ada anggota Banser yang kekurangan dana untuk biaya anaknya yang sakit," ujar anak seorang Mustasyar NU itu.
"Dia digaji nggak?"
"Mana ada Banser digaji," ucapnya.
Saya terkejut, karena ternyata Banser hanya bermodal keikhlasan dan cinta ulama.
Karena itulah, Banser -Kalsel khususnya- rela mencopot seragamnya hanya untuk membaur di pengamanan Peringatan Haul Abah Guru Sekumpul. Sebab Haul Sekumpul tidak diperkenankan ada atribut partai, organisasi, dan semacamnya.
Mereka tidak ngotot mengatasnamakan Banser di acara akbar itu. Sebab mereka lebih cinta ulama ketimbang seragam. Semoga begitu.
Hal semacama itu dilakukan Banser sudah lama. Bahkan sejak Abah Guru masih menggelar Majelis Ta'lim dulu. Sayangnya, jasa mereka seolah terlupakan begitu saja.
Karena itu-lah, ketika Banser di-bully kemarin. Saya berupaya mengingatkan jasa mereka yang telah menjaga ulama-ulama kita.
"Tapi kan mereka salah?" tanya teman yang tidak sepaham.
Ah, nanti dulu soal salah-benar. Kita pun kalau ditimbang-timbang, pasti ada salahnya. Apalagi kalau hanya berdasar pada sudut pandang sepihak.
Kenapa kita tidak mengutamakan cinta saja? Jika mereka cinta pada ulama tanpa menimbang isi amplopnya, kenapa kita tidak bisa mencintai mereka tanpa melihat sisi "celanya".
Mari sedikit mengingat, ketika Inul Daratista dengan goyang ngebornya dihujat banyak orang, apakah kemudian ulama yang kita cintai itu (Abah Guru Sekumpul) juga menghujatnya, tidak kan? Malah beliau berujar, "Inul akan menjadi anak angkatku nanti." Dan perkataan itu kemudian benar terbukti.
Lihat, bagaimana ulama besar itu bersikap. Apakah beliau menghakimi Inul atau malah "merangkulnya"? hal yang serupa ditunjukkan ulama besar lainnya di Pulau jawa.
***
Jika Majnun bisa menatap cinta pada seekor anjing hanya karena pernah melewati kampung kekasihnya, kenapa kita tidak menaruh cinta pada Banser yang menjaga guru-guru (ulama) kita.*
Penulis adalah Redaktur Media Online Apahabar.com
Baca Juga:Menjajal Tuah Balangan1
Baca Juga: Benarkah Zonasi Merupakan Jalan Pintas Kualitas Pendidikan?
Baca Juga:Buruk Pemerintah, Keluarga yang Disalahkan
=================
Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.