bakabar.com, JAKARTA - Pekerja Migran Indonesia (PMI) terus mengalami kerentanan dari berbagai arah. Mulai dari minimnya ruang aman saat bekerja hingga tingginya biaya remitansi dan dinilai membebani.
Selama ini, biaya remitansi telah membebani para pekerja imigran Indonesia. Karena itu, pemerintah dan swasta diminta untuk tidak memungut biaya saat pekerja migran mengirimkan uang ke keluarganya di Indonesia.
Dosen School of Public Health University of Alberta Kanada Denise L. Spitzer menegaskan, studi yang dilakukan bersama rekan-rekannya menunjukkan bahwa remitansi menjadi beban bagi PMI.
Sebab, kata Denise, mereka tidak mampu untuk membantu keluarga mereka di negara asalnya, karena besarnya potongan dari remitensi yang harus ditanggung.
Baca Juga: Pekerja Migran, Bank Mandiri Dukung Pendanaan 9.000 Dolar Hong Kong
“Penilaian kita terhadap pekerja migran yang kita anggap sebagai pahlawan devisa bagi negara dan keluarga perlu dipertanyakan lagi,” kata Denise di Kantor Human Rights Working Group, Senin (10/7).
Berdasarkan riset The Lives of Migrant Remittances, sebanyak 88,7 persen PMI di Hongkong mengirimkan remitansi bulanan sebanyak USD2.500 HKD setara 50 persen dari gaji mereka perbulan.
Studi yang dilakukan Denise dan timnya juga menunjukkan remitansi secara mayoritas digunakan untuk makanan dan biaya sekolah. Adapun survei dilakukan terhadap 966 pengguna remitansi yang teridentifikasi.
Baca Juga: Polri Gagalkan Penyelundupan 28 Pekerja Migran ke Malaysia
Dalam riset yang sama disebutkan bahwa gaji bulanan rata-rata di Hong Kong menurut data 2020 sebesar $4.410 HKD atau setara USD564.
Senada, Ketua International Migrants Alliance Eni Lestari meminta agar pemerintah, swasta, dan perbankan tidak mengenakan biaya saat PMI melakukan pengiriman uang remitansi.
Menurut Eni, perbankan memanfaatkan remitansi PMI sebagai celah mencari keuntungan. Padahal, gaji para PMI tidak terlalu besar.
"Dalam berkirim remitansi biaya dikosongkan, zero cost. Apakah tidak bisa? Bisa. Apakah berarti perbankan rugi? Tentu tidak," ujarnya.
Baca Juga: Dijual, 6 Pekerja Migran Asal Jember Terjebak di Kamboja
Sejauh ini, menurut Eni, upah para pekerja migran di Hong Kong tak pernah naik sejak Covid-19, sementara inflasi terus naik. Dari temuan ini, diketahui bahwa pada praktiknya, fokus remitansi ini hanya digunakan untuk bertahan dibandingkan berinvestasi.
Hal lain, para PMI harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa berangkat keluar negeri, rata-rata setara 6-7 bulan gaji. Padahal, janji awalnya tidak demikian.
Pemerintah juga tidak memberikan subsidi ketika PMI hendak pulang ke tanah air akibat pandemi Covid-19. Selain itu, emerintah tak memiliki dana saat PMI meminta subsidi tiket kepulangan bagi mereka yang tidak memiliki dokumen.
“Makanya kami pertanyakan apa itu pahlawan devisa ketika imbal baliknya tidak setara sama sekali,” tandasnya.