LIFESTYLE

Ateisme Merajalela di Timur Tengah, Ada Apa?

Selama satu dekade terakhir, ateisme justru merajalela di tanah ‘kelahiran’ Islam

Featured-Image
Segelintir orang Arab beribadah di Kairo (Foto: New Humanist/Brian Whitaker)

bakabar.com, JAKARTA - Islam dan Timur Tengah telah menjadi dua hal yang dikonstruksikan tak bisa terpisahkan. Sebab, dari sanalah ajaran itu berkembang sampai menyebar ke pelbagai penjuru dunia. 

Sedikitnya ada 317 juta kepala di negara-negara Arab yang memeluk agama Islam pada 2015, seperti dikemukakan oleh Pew Research Center. Angka tersebut setara dengan 93 persen dari jumlah penduduk di sana.

Namun, fakta di lapangan tidaklah sepenuhnya demikian. Selama satu dekade terakhir, ateisme justru merajalela di tanah ‘kelahiran’ Islam. Arab Barometer dalam salah satu surveinya mengatakan tingkat ketakwaan pribadi di Lebanon menurun sekitar 43 persen.

“Selama satu dekade terakhir, hanya kurang dari seperempat populasi kini yang mendefinisikan diri sebagai orang religius,” demikian laporan lembaga survei terbesar di kawasan Timur Tengah itu, dikutip Kamis (6/4).

Hal senada juga dilaporkan BBC International pada 2019, di mana mengungkapkan terjadi peningkatan persentase penduduk tidak beragama. Semula, hanya delapan persen yang mengaku ateis pada 2013, enam tahun setelahnya melonjak menjadi 13 persen.

Turki, negara yang 99 persen berpenduduk Muslim, pun mengalami fenomena serupa. Konda melaporkan penduduk di sana yang mengaku menganut Islam menurun dari 55 persen menjadi 51 persen pada 2019.

Begitu pun dengan Arab Saudi, yang notabene menjadi rumah bagi kiblat umat Islam. Saudi Arabia 2021 International Religious Freedom Report mencatat ada 224 ribu yang memilih tidak beragama, baik ateis atau agnostik.

Imbas dari ‘Campur Aduk’ Politik dan Agama

Fenomena menjamurnya ateisme di Timur Tengah, ternyata, salah satunya dikarenakan politik pemerintah yang mencampuradukkan dengan agama. Itulah yang setidaknya terjadi di Arab Saudi.

Wallace dalam Men without God: The Rise of Atheism in Saudi Arabia (2020) mengatakan hal tersebut membuat penduduk yang berpikir kritis menganggapnya sebagai politisasi agama. Ini lantas menimbulkan pertanyaan dalam benak mereka yang berimbas pada penolakan.

Koresponden Internasional Guardian, Tamer Fouad, menyampaikan hal serupa. Kepemimpinan partai dan tokoh Islam pasca-Arab Spring yang berusaha mewujudkan perbaikan ekonomi serta demokratisasi, justru membuat publik kecewa.

Pada kenyataannya, negara yang dipimpin oleh tokoh Islam malah gagal merealisasikan kedua visi itu. Kegagalan inilah yang membuat rakyat enggan kembali memilih partai serta tokoh Islam sebagai pemimpin, sekaligus memilih ‘bercerai’ dengan agama.

‘Trauma’ dengan Perlakukan Buruk Ekstremis

Fouad mengungkapkan faktor lain yang membuat ateisme kian merajalela di Timur Tengah. Yakni, tindakan buruk seperti pembakaran gereja, penghancuran masjid, dan lain-lain yang dilakukan segelintir kelompok dengan mengatasnamakan agama.

Whitaker dalam Arabs Without God (2014) mengatakan personal-internal atau sosial-eksternal jua menjadi penyebab suburnya ateisme di negara Arab. Faktor ini termasuk pengalaman atas kejadian menakutkan dan traumatik yang dilakukan ekstremis.

Kejadian tersebut, antara lain kekerasan, kekejaman, terorisme, diskriminasi, intimidasi, atau pemerkosaan yang dilakukan sejumlah kelompok ekstremis agama. Itu semua menjadi faktor penting yang mendorong pengikut agama memilih ‘cerai’ dari agama mereka.

Adapun faktor personal-internal meliputi ketidakmampuan doktrin agama dalam menjawab pertanyaan fundamental filosofis-ilmiah. Misalnya, mengenai asal-usul manusia serta alam semesta.

Selain itu, ada sejumlah doktrin, ajaran, serta teks-teks keagamaan yang dianggap tidak logis dan scientific. Seperti, gambaran atau image tentang Tuhan yang dinilai membingungkan lagi kontradiktif.

Ajaran Mesti Disesuaikan Zaman

Sebenarnya, bukanlah hal mudah bagi penduduk di Timur Tengah untuk mendeklarasikan diri sebagai ateis. Mereka yang berani menyatakan ‘tak bertuhan’ terancam dikucilkan oleh sosial, bahkan bisa berujung bui.

Dosen Antropologi Budaya dari King Fahd University of Petroleum and Minerals, Sumanto Al Qurtuby, menilai penanganan yang demikian justru tidak tepat. Fenomena ateisme, idealnya, disikapi secara dewasa dan ilmiah oleh kaum teis atau umat beragama.

Munculnya kaum ateis sejatinya juga bisa dijadikan sebagai kritik internal sekaligus tantangan untuk mengembangkan agama yang lebih ilmiah, rasional, beradab, manusiawi, modern, dan memperhatikan kemajuan zaman.

“Agar umat beragama tetap betah tinggal di dalamnya (percaya pada ajaran yang sebelumnya dianut),” demikian harapnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner