bakabar.com, JAKARTA - Sejumlah kota besar di Indonesia tengah berbenah memperbaiki sarana transportasi publik. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan kondisi transportasi publik dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura yang sudah jauh lebih baik.
Mobilitas yang tinggi di perkotaan menuntut tersedianya sarana transportasi umum yang andal. Tak heran jika Presiden Kolombia Gustavo Francisco Petro Urrego pernah berkata, “Negara maju bukan tempat di mana orang miskin memiliki mobil. Negara maju adalah di mana orang kaya menggunakan transportasi umum.”
Hal tersebut sangat relevan karena jika dilihat di negara-negara maju, dimana masyarakatnya mengandalkan transportasi umum sebagai moda untuk mobilisasi. Masyarakat hanya menggunakan kendaraan pribadi jika akan mengadakan perjalanan jauh atau untuk liburan bersama keluarga.
"Masyarakat di negara maju lebih memilih menggunakan transportasi umum karena sistem transportasi umum cepat, nyaman, bersih, dan aman," ujar Ahmad Jayadi, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR di Jakarta, Sabtu (4/1).
Persoalan transportasi, kata dia, berkaitan erat dengan pembangunan kota keberlanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Transportasi yang baik merupakan jantung dari kota keberlanjutan hingga ke tingkat global, seperti dikutip dari buku Kenworthy, Jeffrey R. (2006) berjudul The Rco-City: Ten Key Transport and Planning Dimensions for Sustainable City Development.
"Karena itu, pembangunan transportasi massal di kota-kota besar di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak," kata Ahmad.
Kalah dari Singapura
Sistem transportasi di Ibu Kota Jakarta sebagai cerminan bangsa Indonesia pun masih kalah dengan negara tetangga seperti Singapura yang telah membangun MRT – mass rapid transportation sejak 1987.
"MRT Singapura menjadi sistem transportasi tertua kedua di Asia Tenggara setelah sistem transportasi LRT di Filipina," ungkap Ahmad.
Stasiun dan jalur-jalur MRT Singapura berada di bawah tanah dengan beberapa lapis tingkatan dan juga ada yang di atas (skytrain) dan memiliki sistem pelindung dari guncangan gempa dan bom.
"Keberadaannya menjangkau hampir seluruh pelosok Singapura dari barat-timur hingga selatan-utara," katanya.
Ahmad mengatakan Indonesia terlambat dalam pengembangan transportasi publik yang nyaman dan terintegrasi. Terbukti dengan beroperasinya TransJakarta yakni sebuah sistem transportasi bus rapid transit (BRT) baru di tahun 2004.
"TransJakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibu kota yang sangat padat sebagai pengganti bus Jakarta yang fenomenal yakni MetroMini dan Kopaja," terangnya.
MetroMini diperkenalkan pada tahun 1962 oleh Gubernur Soemarno di Jakarta atas instruksi Presiden Sukarno. Tujuan awalnya bus itu adalah untuk kebutuhan transportasi peserta Pesta Olahraga Negara Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (Ganefo).
Saat itu, moda transportasi massal baru beralih dari kereta listrik (trem) yang dioperasikan oleh Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) yang dihentikan tahun 1960, dan bus pertama yang dioperasikan PPD adalah bus Leyland bantuan Australia pada 1956.
"Selain bus PPD, Jakarta tidak memiliki transportasi umum resmi, di mana opelet adalah kendaraan angkutan massal selain PPD," kata Ahmad.
Selama puluhan tahun, MetroMini, Kopaja, bus PPD, dan angkot menghiasi wajah ibu kota dan menjadi primadona karena tarifnya yang murah. Namun seiring waktu, armada tersebut digantikan dengan TransJakarta yang lebih nyaman dan ramah lingkungan, ditambah dengan beberapa unitnya yang sudah mulai menggunakan penggerak listrik (electronic vehicle).
Pembenahan
Meskipun terlambat, Jakarta terus berbenah dengan dimulainya pembangunan MRT dan rute pertamanya dari Bundaran HI-Lebak Bulus sepanjang 15,7 km mulai beroperasi sejak Maret 2019.
"Pembangunan MRT, sebagai transportasi publik massal di tengah perkotaan Jakarta selain kereta, bisa dibilang sudah sangat jauh terlambat dari Singapura," jelasnya.
Padahal ide tentang jalur kereta bawah tanah sudah muncul sejak masa Presiden Soekarno. Hal tersebut terungkap dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 76 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Pemindahan Lintas-Lintas Kereta Api Pengangkut Barang dan Penumpang dengan Tujuan ke dan dari Jakarta Raya.
Setelah itu ada Keppres RI No. 77 Tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Perubahan dan Pemindahan Lalu Lintas Kereta Api serta Pembangunan Jalur Kereta Bawah Tanah.
"Seandainya ide tersebut terealisasi 50 tahun silam, mungkin transportasi publik Jakarta tidak kalah dari negara tetangga dan kemacetan tidak separah saat ini," terang Ahmad.
Pemerintah pusat dalam mendorong peningkatan transportasi publik telah memberikan subsidi terhadap penyelenggara transportasi umum di daerah melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum Perkotaan.
Selain itu pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang menjadi acuan kerja Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), tercantum target penggunaan angkutan umum harus mencapai 60 persen dari total pergerakan orang. Target tersebut harus terpenuhi pada 2029.
Integrasi antarmoda
Salah satu hal yang membuat angkutan umum tidak nyaman adalah tidak adanya integrasi antarmoda. Ini membuat masyarakat harus mengeluarkan upaya ekstra, baik secara fisik maupun materi, untuk sampai ke lokasi tujuan.
Kajian Kementerian Perhubungan pada 2020, kata Ahmad, menemukan bahwa belum terintegrasinya transportasi umum menjadi alasan tingginya penggunaan kendaraan pribadi.
Di samping itu, pembenahan transportasi umum lokal di kota-kota dalam wilayah Bodetabek yang masuk dalam Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten juga harus dilakukan.
Layanan transportasi umum, seperti Trans Patriot (Kota Bekasi), Trans Pakuan (Kota Bogor), Trans Anggrek (Kota Tangerang Selatan), dan Trans Tangerang (Kota Tangerang).
"Pasalnya kota-kota satelit inilah yang menjadi penunjang kemacetan Jakarta jika para komuter masing-masing menggunakan kendaraan pribadi," jelas Ahmad.
Transportasi antarwilayah dan lokal di Bodetabek yang sehat akan menjadi model layanan baru transportasi umum untuk mendukung Jakarta sehingga kebijakan kepala daerah di Bodetabek membenahi transportasi umum sangat dinanti dan diharapkan.
"Dengan berkembangnya transportasi publik di Jabodetabek, diharapkan kota-kota besar lain dapat menjadikannya sebagai barometer," ucap Ahmad.
Semua pengembangan transportasi publik yang dibahas di atas hanyalah pull factor atau upaya daya tarik sehingga angkutan umum ini bisa menarik masyarakat beralih ke kendaraan umum.
Namun tidak kalah penting adalah perlu adanya push policy/kebijakan mendorong masyarakat beralih ke kendaraan umum, di antaranya yang telah dimulai dengan kebijakan ganjil genap dan rencana penerapan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP).
"Atau, jika dimungkinkan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi dan berbagai kebijakan lain yang bisa mengurangi kepadatan di jalan," pungkasnya.