bakabar.com, JAKARTA - Bakal calon presiden (bacapres), Anies Baswedan menyinggung riuh rendah kebebasan berekspresi masyarakat dalam sistem demokrasi dan otoriter di Indonesia.
Hal ini disampaikan Anies dalam Kuliah Kebangsaan di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (29/8).
"Ada dua sistem demokrasi di dunia, demokratik dan non-demokratik. Yang non-demokratik pilarnya adalah fear (rasa takut), yang demokratik pilarnya adalah trust (kepercayaan)," kata Anies.
Baca Juga: Anies: Demokrasi Indonesia Bermasalah Dampak Kesejahteraan Masyarakat
Ia membandingkan dua sistem yang berpeluang menguak keterbukaan, kebebasan, dan kepercayaan masyarakat.
"Sebuah demokrasi mengandalkan keterbukaan, mengandalkan kebebasan, dan di bawahnya ada pilar kepercayaan atau trust. Sementara non-demokratik pilarnya adalah rasa takut," ujarnya.
"Karena itu rezim-rezim otoriter menggunakan rasa takut untuk menjalankan kekuasaannya. Tapi, begitu rasa takut itu hilang, rezim itu tumbang," sambung dia.
Baca Juga: Anies Baswedan: Koruptor Harusnya Dimiskinkan!
Mantan Gubernur DKI ini juga menyibak memoar Indonesia di era kepemimpinan Presiden Soeharto jatuh. Rasa takut masyarakat seolah hilang, meski diselubungi sistem otoriter.
Sepanjang masyarakat masih dihantui rasa takut untuk berekspresi, kata dia, selama itu juga demokrasi tak sehat. Maka ia mendorong demokrasi menjadi prioritas dalam kepemimpinan nasional.
Bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan implementasi terhadap kebebasan berekspresi masyarakat.
Anies juga menyebut terkadang masyarakat tersandung UU ITE yang kerap bermasalah dan mengganggu kebebasan berekspresi masyarakat.
Baca Juga: 'Senjata' Anies Rebound Ganjar dan Prabowo
"Kasian, lapor bengkel bermasalah aja bisa disebut pencemaran nama baik padahal pelayanan bengkel, bukan pelayanan pemerintah nih, bahkan pelayanan rumah sakit begitu," jelasnya.
Maka dari itu Anies dengan lantang menyuarakan pasal-pasal dalam UU yang mengganggu kebebasan berekspresi, yang sudah seharusnya direvisi.