Amnesty International

Amnesty Internasional: Pengakuan Presiden Tidak Ada Arti Tanpa Pertanggungjawaban Hukum

Amnesty Internasional Indonesia menganggap pengakuan Presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum.

Featured-Image
Presiden Joko Widodo mencabut pemberlakuan PPKM Covid-19. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

bakabar.com, JAKARTA -Presiden Jokowi mengakui tragedi pelanggaran HAM masa lalu yang sempat terjadi di Indonesia. Namun pengakuan presiden dinilai tidak cukup menyelesaikan masalah HAM.

Amnesty Internasional Indonesia melalui Direktur Eksekutif  Usman Hamid menyatakan jika pengakuan Presiden tidak ada artinya tanpa sebuah tindakan nyata.

"Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu," tuturnya Rabu (11/1). 

Baca Juga: Aktivis: 'Suka Sama Suka' Narasi yang Terus Dibawa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Meski sikap ini cukup diakui, namun pengakuan terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an di Indonesia, dinilai sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.

Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu juga hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas.

Baca Juga: Menteri PPA Sebut Kunci Menekan Angka Kekerasan Anak

Dalam pernyataan Presiden, Pemerintah bahkan hanya mengakui dua belas peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat.

"Secara nyata mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya, seperti pelanggaran yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir itu, jika Presiden serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000. Itu seharusnya juga disebutkan," tutur Usman Hamid. 

Baca Juga: Eva Sundari: Kasus Kekerasan PRT di Polda Sedikit dari Sekian Banyak Tragedi

Kelalaian ini dianggap sebagai bentuk penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini, termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan tersebut telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan sebelumnya.

"Jika Presiden benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh," tuturnya lagi.

"Termasuk menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun itu terjadi. Dan jika ada cukup bukti yang dapat diterima bisa menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana," pungkasnya. 

Baca Juga: Kejagung Tunda Hukuman Mati Pelaku Pemerkosaan, Ini Alasannya!

Pernyataan tidak cukup bukti dinilai tidak lagi relevan. Sebab lembaga yang berwenang dan berada di bawah wewenang langsung Presiden, yaitu Jaksa Agung, tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.

"Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri imunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya," ungkap dia.

"Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan," tuntup Usman. 

Editor


Komentar
Banner
Banner