Opini

Alumni Pesantren VS Ustadz Karbitan

Oleh: Abu Zein Fardany MASIH segar di ingatan penulis ketika menghadiri acara “takhtim” (wisuda) Ma’had ‘Aly…

Featured-Image
Ilustrasi. Foto-net

Oleh: Abu Zein Fardany

MASIH segar di ingatan penulis ketika menghadiri acara "takhtim" (wisuda) Ma'had 'Aly Darussalam setahun silam. Penulis sendiri adalah alumni angkatan pertama lembaga pendidikan tingkat tinggi ala pesantren ini. Beberapa teman seangkatan penulis berkhidmah menjadi dosen di Ma'had 'Aly. Dari seorang teman seangkatan yang menjadi dosen itulah penulis mendapat undangan berhadir di acara tersebut.

Uniknya, dibanding acara wisuda pada umumnya, takhtim dilaksanakan secara sederhana, diwarnai pembacaan beberapa bagian akhir kitab yang menjadi pegangan mahasantri dan kemudian dijadikan bahan nasehat para dosen kepada para wisudawan.

Ustadz Karim Ulya -teman seangkatan yang mengabdi menjadi dosen- mengulas tentang kehebatan kitab "Minhajut Tholibin" susunan al-Imam an-Nawawi, salah satu kitab fiqh yang menjadi "kiblat" para pengikut madzhab Syafi'i pasca generasi al-Imam an-Nawawi.

Di sela ulasan itu, Ustadz Karim memberikan motivasi dan nesehat kepada para wisudawan agar melanjutkan estafet transfer ilmiah yang telah diterima dari para guru, gurunya dari guru di atasnya, hingga menyambung ke pembawa risalah; Baginda Rasulullah shallallahu 'alaih wa aalih wa sallam.

Kapabilitas Alumni Ma’had Aly

Menurut penulis, alumni Ma'had 'Aly bukan orang sembarangan, mengingat bekal yang telah didapat dari menjalani pendidikan di dunia pesantren dalam waktu yang tidak sebentar. Belasan tahun bergelut kitab kuning, dari tingkat Awwaliyah, Wustho (Tsanawiyah), 'Ulya ('Aaliyah), hingga lulus Ma'had 'Aly (tingkat tinggi), adalah "amunisi" yang lumayan untuk dibawa ke medan dakwah.

Menariknya, Mudir (direktur) Ma'had 'Aly, guru kami KH. Hatim Salman, Lc ketika memberikan sambutan, tidak memberikan taushiyah pribadi. Beliau malah membacakan kitab susunan al-Imam al-Ghazali; Khulashatut Tashaanif, sebuah risalah yang sejatinya adalah jawaban al-Imam al-Ghazali atas permintaan seorang murid yang mengharapkan nasehat terakhir dari sang guru, setelah menempuh pendidikan bertahun-tahun.

Di antara nasehat al-Imam al-Ghazali tersebut; seorang berilmu tidaklah mendapatkan apa-apa dari ilmunya kecuali apa yang telah ia amalkan, seperti seorang yang sedang sakit dan sangat mengetahui seluk beluk pengobatan, tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya tersebut bila ia tidak mau berobat.

Sehingga, al-Imam al-Ghazali menyimpulkan "Fa'lam Annahu Laa Yufiiduka Katsratut Tahshiilil 'Ilmi Wa Jam'ul Kutubi Maa Lam Ta'mal" (Yakinilah bahwa tidak berfaidah untukmu banyaknya menghasilkan ilmu dan mengumpulkan kitab-kitab selama kamu tidak mengamalkan).

Risalah susunan al-Imam al-Ghazali yang sebelumnya pernah penulis pelajari dari Sayyidi Abah Guru Sekumpul dalam dua versi, yaitu versi Ayyuhal Walad dan versi Khulashatut Tashaanif.

Kitab ini sering penulis baca ulang, karena begitu menggugah. Bahwa seorang santri pasca mondok semestinya fokus pada pengamalan ilmu sebelum menyampaikan. Ini merupakan tradisi di dunia pesantren. Adab ini telah diwarisi dari para guru yang memiliki sanad keilmuan di pesantren. Inilah ciri khas seorang santri alumni pesantren. Ini adalah identitas kesantrian.

Dakwah Ustadz Karbitan

Dalam nasehatnya, Mudir sedikit menyentil fenomena dunia dakwah saat ini. Di mana setiap orang begitu mudahnya memberanikan diri terjun ke medan dakwah. Mantan preman misalnya, setelah taubat tiba-tiba tampil menjadi pendakwah. Hal ini tidak masalah selama dia cukup bekal ilmu, demikian kurang lebih yang diingatkan mudir. Bukan begitu mudah berdakwah menyampaikan ilmu-ilmu keislaman tanpa pengetahuan yang mendalam tentang apa yang ia sampaikan tersebut.

Sayangnya, menurut penulis, fakta di lapangan tidak demikian. Tidak sedikit orang-orang yang baru "hijrah" dan semestinya memfokuskan diri pada mengkaji ilmu agar hijrahnya baik dan benar, kemudian lanjut ke mengamalkan ilmu yang didapat, baru bila tiba saatnya menyampaikan ilmunya bila diperlukan. Yang ada, baru hijrah dan belajar sebentar atau sedikit tiba-tiba menampilkan diri sebagai seorang ustadz, dengan bekal pengetahuan seadanya.

Dari satu sisi ini baik, sebagai penyemarak syiar agama, namun di sisi lain ini sangat riskan, karena bukan tidak mustahil si pendakwah menyampaikan sesuatu yang ia sendiri tidak paham betul bahkan mungkin sesat paham, dan dampaknya malah menyesatkan banyak orang.

Menimbang sisi resiko dengan sisi kebaikan yang diharapkan, alangkah baiknya bila kita berpegang pada prinsip fiqh "Daf'ul Mafaasid Muqoddam 'Alaa Jalbil Mashaalih" (Menolak kemudharatan lebih diutamakan ketimbang mengharap kebaikan).

Menyikapi fenomena ini kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Berkaca pada prinsip ekonomi pasar adanya supply karena adanya demand, tanpa demand (permintaan) tak akan ada supply (penyaluran). Jadi, antusias masyarakat terhadap ustadz-ustadz model ini adalah pemicu maraknya para "muhajirin" (orang-orang yang "hijrah") menampilkan diri sebagai ustadz pendakwah. Buktinya, dakwah ustadz-ustadz "karbitan" ini sangat laku dan diminati orang awam.

Sangat sedikit orang awam yang berpegang pada nasehat Muhammad bin Sirrin (tabi'in), "Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu. Maka telitilah dari siapa kamu mengambil (Ilmu) agamamu."

Orang awam lebih suka mengambil kepada yang sesuai nafsu mereka. Lihat saja di lapangan, baik di dunia nyata apalagi di dunia maya, orang lebih senang kepada yang sesuai dengan yang ada padanya tanpa mempertimbangkan sahih tidaknya; apakah yang menyampaikan benar ahli atau copas (copy paste) belaka.

Bahkan parahnya, mereka kadang tanpa disadari menjadikan majelis yang diberi label "majelis ta'lim" sebagai sebuah "majelis lawak". Tanpa referensi keilmuan yang jelas dan standar, hanya bermodal katanya dan dibumbui kelihaian mengocok perut, majelis yang lebih layak disebut "majelis stand up komedi" itu sangat laris dihadiri ratusan bahkan ribuan jamaah. Dampaknya, bukannya makin lama menghadiri majelis makin berilmu, malah makin sesat paham.

Tinggalkan Ustadz Karbitan

Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?

Bila semuanya berada pada koridor masing-masing, insya Allah hal ini bisa kita atasi bersama. Karena fenomena ini tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja. Para alumni pesantren misalnya, mereka terikat pada adab-adab dan aturan ketat bagaimana semestinya yang dilakukan sebelum terjun ke medan dakwah.

Tentunya, meski tiap tahun pesantren menghasilkan banyak alumni, tidak semuanya berani terjun ke medan dakwah. Di sisi lain medan dakwah dihuni oleh para ustadz-ustadz karbitan yang hadir karena banyaknya permintaan.

Alangkah indahnya bila orang-orang awam selektif dalam meminati dan memilih ustadz. Teliti alumni mana dan berapa lama dia belajar/mengkaji di sana. Kritis atas apa yang disampaikan seorang pendakwah, tidak mudah terpengaruh pada banyaknya jemaah.

Alangkah baiknya bila para "muhajirin" sadar diri, tidak berani menyampaikan sesuatu yang tidak ia dalami pemahamannya. Lebih baik mengajak orang lain menghadiri majelis ta'lim seorang ulama yang jelas keilmuannya ketimbang maju menampilkan diri sebagai ustadz dan pendakwah ilmu agama.

Silakan berdakwah, tapi dakwahnya sebatas mengajak orang menuntut ilmu, memotivasi orang menghadiri majelis ta'lim para ulama, bukan menjadi da’i pesaing ulama.

Bagaimana dengan alumni pesantren?

Kenapa alumni pesantren hanya sedikit yang tampil di medan dakwah dibanding yang tidak tampil?

Saya akan menjawabnya dengan ungkapan sebagian 'arif billah yang dikutip al-Habib 'Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah bin 'Alawi al-Haddad (shahibur ratib) dalam Syarh Ratib al-Haddad hal.38:

"Hanya yang menyebabkan para ahli kebenaran (Ahlul Haqq) keluar dari tengah-tengah manusia menuju kesunyian dan sahara, karena mereka tidak mampu memandang para ulama jahat (Suu), yang (menganggap dirinya) ulama, namun (sejatinya) sangat bodoh (Juhhal) di sisi ahli kebenaran…"

Jadi, andai saja orang-orang awam tidak lagi meminati atau tak ada "demand" (permintaan) kepada ustadz karbitan, niscaya tidak ada "supply" (penyaluran) para ustadz karbitan. Bila tak muncul para ustadz-ustadz karbitan, niscaya para ulama yang benar-benar berilmu akan tampil ke permukaan. Atau bisa juga, andai para "muhajirin" tidak tampil memposisikan diri sebagai ustadz karbitan, niscaya akan muncul ustadz beneran.

Menurut Pian?

Baca Juga: Pesantren Darussalam Martapura dan Pertaruhan Anak Santri

Baca Juga: Melacak Akar Paradigma Keislaman Modern (Islam Liberal, Islam Fundamental, Islam Tradisional, dan Islam Moderat)

img

Abu Zein Fardany. Foto-Istimewa

Penulis adalah alumni Ulya 1998 dan Ma'had 'Aly Darussalam angkatan pertama.

Editor: Muhammad Bulkini

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.



Komentar
Banner
Banner